Selasa, 10 Mei 2011

PANDUAN ASESMEN MATEMATIKA KUANTITATIF-1

PANDUAN ASESMEN MATEMATIKA KUANTITATIF-1

A.Pendahuluan

Siswa yang mengalami kesulitan belajar matematika seringkali memiliki kesulitan dalam penguasaan keterampilan dan konsep matematika. Kesulitan matematika pada umumnya dapat ditemui pada seluruh tingkatan usia. Pada masa prasekolah, banyak anak yang tidak dapat membedakan objek berdasarkan ukuran, mencocokkan objek, memahami bahasa matematika, atau memahami konsep membilang. Pada tingkat dasar, mereka mengalami kesulitan dalam keterampilan berhitung. Sedangkan pada tingkat menengah dan tingkat yang lebih tinggi lagi siswa mengalami kesulitan dalam perhitungan desimal, pecahan, persentase, dan pengukuran.

Dalam belajar matematika, pemahaman keterampilan matematika pada tingkat yang lebih rendah sangat penting bagi kesiapan keterampilan matematika pada tingkat yang lebih tinggi, artinya konsep kesiapan (readiness) sangat penting dalam pembelajaran matematika. Sebagai contoh, jika anak belum menguasai fakta dasar bilangan maka ia tidak akan siap untuk belajar penjumlahan; dan jika anak belum menguasai fakta dasar perkalian maka ia tidak akan siap untuk belajar perkalian; dan seterusnya. Hal penting lainnya dalam pembelajaran matematika yang harus dipahami oleh guru adalah tahapan belajar siswa. Mercer & Mercer (1989:190) menyebutkan bahwa pada dasarnya ada beberapa tahapan dasar belajar dalam pengalaman belajar matematika, yaitu konkrit, semikonkrit, dan abstrak.

Tahapan belajar dan tingkat kesiapan siswa dalam belajar matematika dapat diketahui guru melalui serangkaian pengamatan yang kita kenal dengan istilah asesmen. Menurut James A. Mc. Lounghlin & Rena B. Lewis, asesmen merupakan proses sistematika dalam mengumpulkan data seseorang anak yang berfungsi untuk melihat kemampuan dan kesulitan yang dihadapi seseorang saat itu, sebagai bahan untuk menentukan apa yang sesungguhnya dibutuhkan. Berdasarkan informasi tersebut guru akan dapat menyusun program pembelajaran yang bersifat realitas sesuai dengan kenyataan objektif.

Sedangkan Ysseldyke dan Algozzine (1984) dalam Mercer dan Mercer (1989:38) menyebutkan bahwa tujuan utama dari asesmen adalah mengembangkan pembelajaran bagi siswa. Melalui kegiatan asesmen yang tepat diharapkan dapat memberikan informasi bagi guru. Pertama, asesmen harus dapat membantu guru dalam menentukan apa yang harus diajarkan pada siswa secara individual. Kedua, asesmen harus dapat membantu guru dalam menentukan bagaimana cara mengajar siswa yang tepat untuk mencapai kemajuan yang maksimal. Dengan kata lain, tujuan dari asesmen adalah untuk mengetahui kebutuhan belajar siswa dan hambatan belajar yang dialami siswa, sehingga guru akan lebih mudah untuk menentukan program dan strategi yang tepat bagi siswa agar siswa dapat berkembang secara optimal.

B.Pengertian Asesmen Matematika Kuantitatif

Asesmen matematika adalah suatu proses sistematis dalam mengumpulkan data tentang keterampilan yang telah dicapai oleh siswa dan hambatan yang dihadapi siswa pada saat ini dalam aspek matematika. Asesmen matematika meliputi asesmen matematika kuantitatif dan asesmen matematika kualitatif. Asesmen matematika dalam kuantitatif meliputi konsep bilangan dan operasi hitung, sedangkan asesmen matematika kualitatif meliputi konsep geometri dan pengukuran, serta soal cerita.

Untuk mengetahui kemampuan dan hambatan matematika pada siswa dapat dilakukan asesmen dengan menggunakan asesmen yang telah baku (formal) ataupun dengan menggunakan asesmen informal. Asesmen informal dapat dibuat sendiri oleh guru dengan memperhatikan rambu-rambu pembuatan asesmen yang berlaku. Dalam buku ini disajikan model asesmen matematika dimensi kuantitatif yang dapat dipakai minimal oleh siswa kelas 1 Sekolah Dasar yang sudah duduk di semester II.

C.Tujuan Asesmen Matematika Kuantitatif-1

Tujuan utama dari pelaksanaan asesmen adalah untuk mengembangkan pembelajaran bagi siswa. Karena dengan asesmen guru akan mengetahui kebutuhan dan hambatan belajar siswa. Sedangkan Asesmen Matematika Kuantitatif-1 bertujuan untuk:
1.Membantu guru dalam mengetahui tahapan belajar siswa.
2.Membantu guru dalam menemukan kelebihan yang dimiliki siswa dalam bidang matematika dimensi kuantitatif.
3.Membantu guru dalam menemukan hambatan belajar siswa dalam bidang matematika dimensi kuantitatif.
4.Membantu guru dalam menentukan program.
5.Membantu guru dalam menentukan metode pembelajaran yang tepat.

D.Ruang Lingkup

Asesmen Matematika Kuantitatif dapat dipakai minimal oleh siswa kelas 1 Sekolah Dasar yang sudah duduk di semester II. Asesmen ini dikembangkan berdasarkan kurikulum Mata Pelajaran Matematika Kelas 1 Sekolah Dasar yang terbagi kedalam tiga bagian, yaitu:
1.Fakta Dasar Bilangan; yaitu kemampuan siswa dalam memahami konsep bilangan.
2.Penjumlahan; yaitu kemampuan siswa dalam melakukan penjumlahan bilangan baik secara konkrit, semi konkrit, maupun abstrak.
3.Pengurangan; yaitu kemampuan siswa dalam mengurangkan bilangan baik secara konkrit, semi konkrit, maupun abstrak.
Untuk lebih jelas berikut ruang lingkup asesmen matematika kuantitatif-1 ditampilkan berikut indikator pengembangannya.
Tabel 1
Ruang Lingkup Asesmen Matematika Kuantitatif-1
RUANG LINGKUP INDIKATOR PENGEMBANGAN

BILANGAN
1.Fakta Dasar Bilangan
1 – 10

a.Menyebutkan nama bilangan yang dihubungkan dengan banyaknya benda (konkrit dan semi konkrit).
b.Memasangkan dua kelompok benda yang memiliki jumlah anggota yang sama (konkrit dan semi konkrit) .
c.Membandingkan kumpulan benda berdasarkan banyaknya benda (konkrit dan semi konkrit).
d.Mengurutkan kumpulan benda berdasarkan banyaknya benda (konkrit dan semi konkrit).
e.Membilang secara urut.
f.Membilang terbalik/mundur.

2. Bilangan 1 – 20
Membaca lambang bilangan.
a.Membaca lambing bilangan
b.Memasang lambang bilangan pada kumpulan benda sesuai dengan banyaknya.
c.Menulis lambang bilangan .
d.Membandingkan dua bilangan.
e.Mengurutkan bilangan

PENJUMLAHAN
1.Pemahaman Simbol Penjumlahan (+) dan sama dengan (=)
a. Menyebutkan nama simbol penjumlahan.
b. Membedakan simbol penjumlahan dengan simbol sama dengan.
c. Menulis simbol penjumlahan.
d. Menyebutkan nama simbol sama dengan.
e. Membaca kalimat matematik penjumlahan
2.Fakta dasar penjumlahan dan operasi hitung penjumlahan.
a.Menjumlahkan dua bilangan cacah satu angka dengan hasil tidak lebih dari sepuluh melalui benda nyata.
b.Menjumlahkan dua bilangan cacah satu angka dengan hasil tidak lebih dari duapuluh melalui gambar.
c.Menjumlahkan dua bilangan cacah satu angka dengan hasil tidak lebih dari duapuluh melalui lambang bilangan dengan cara ke samping (mendatar).
d.Menjumlahkan dua bilangan cacah dua angka dengan satu angka dengan hasil tidak lebih dari seratus melalui lambang bilangan tanpa teknik menyimpan dengan cara ke samping (mendatar).
e.Menjumlahkan dua bilangan cacah dua angka dengan dua angka dengan hasil tidak lebih dari seratus melalui lambang bilangan tanpa teknik menyimpan dengan cara ke samping (mendatar).
f. Menguraikan bilangan ke dalam bentuk panjang (puluhan dan satuan).
g. Membuktikan sifat pertukaran pada penjumlahan dua bilangan cacah dengan hasil tidak lebih dari seratus melalui lambang bilangan.
h. Menjumlahkan dua bilangan cacah dengan hasil tidak lebih dari seratus melalui lambang bilangan dengan cara bersusun pendek.
i. Menentukan pasangan bilangan yang jumlahnya diketahui melalui lambang bilangan.
j. Menjumlahkan bilangan tanpa teknik menyimpan dengan cara bersusun panjang dengan hasil tidak lebih dari seratus.

PENGURANGAN
1.Pemahaman Simbol Pengurangan (-)
a. Menyebutkan nama simbol pengurangan.
b. Menunjukkan simbol pengurangan.
c. Membedakan simbol pengurangan dengan simbol penjumlahan dan sama dengan.
d. Membaca simbol pengurangan.
e. Menulis simbol pengurangan.
f. Menyebutkan nama simbol sama dengan.
g. Menunjukkan simbol sama dengan.
h. Membaca simbol sama dengan.
i. Menulis simbol sama dengan.

2.Fakta dasar pengurangan dan operasi hitung pengurangan
a. Mengurangkan dua bilangan cacah satu angka dengan hasil tidak lebih dari sepuluh melalui benda nyata.
b.Mengurangkan dua bilangan cacah satu angka dengan hasil tidak lebih dari sepuluh melalui gambar.
c.Mengurangkan dua bilangan cacah satu angka dengan hasil tidak lebih dari sembilan melalui lambang bilangan dengan cara mendatar.
d.Mengurangkan dua bilangan cacah dengan bilangan itu sendiri dengan cara mendatar.
e.Mengurangkan dua bilangan cacah dua angka dengan hasil tidak lebih dari seratus melalui lambang bilangan dengan cara mendatar.
f.Mengurangkan dua bilangan puluhan secara mendatar.
g.Mengurangkan dua bilangan cacah dua angka dengan satu angka dengan cara bersusun pendek.
h.Mengurangkan dua bilangan cacah dua angka dengan dua angka dengan cara bersusun pendek.
i.Mengurangkan dua bilangan cacah dua angka dengan bilangan puluhan dengan cara bersusun pendek.
j.Mengurangkan dua bilangan cacah dua angka dengan dua angka dengan cara bersusun penjang.
E.Pengadministrasian dan Penafsiran

1.Menghitung Skor
Penghitungan skor asesmen matematika untuk fakta dasar bilangan, penjumlahan, dan pengurangan dilakukan pengadministrasian dan penghitungan yang sama. Pemberian skor dilakukan dengan cara memberi nilai ”1” pada setiap jawaban yang benar dan nilai ”0” untuk jawaban yang salah. Sedangkan menghitung skor menjadi nilai dapat dilakukan dengan memakai rumus:

Nilai = Jumlah Skor X 100
Jumlah Soal

2.Interpretasi Hasil Asesmen
a.Fakta Dasar Bilangan
Hasil yang dicapai anak dalam asesmen ranah fakta dasar bilangan dapat dikategorikan ke dalam tiga kemungkinan, yaitu:
Ada tiga kemungkinan hasil yang dicapai oleh setiap anak, yaitu:
1)Kategori baik; yaitu anak yang mendapatkan nilai 80 – 100, dikategorikan benar-benar memahami konsep fakta dasar bilangan dan diasumsikan berada dalam tahapan belajar abstrak.
2)Kategori sedang; yaitu anak yang mendapatkan nilai 50 – 79, dikategorikan sudah memahami konsep fakta dasar bilangan tetapi masih membutuhkan sedikit bimbingan dan latihan dan diasumsikan berada dalam tahapan belajar semi konkrit.
3)Kategori buruk; yaitu anak yang mendapatkan nilai di bawah 49, dikategorikan belum memahami konsep fakta dasar bilangan dan diasumsikan berada dalam tahapan belajar konkrit.

b.Penjumlahan
Ada tiga kemungkinan hasil yang dicapai oleh setiap anak, yaitu:
1)Kategori baik; yaitu anak yang mendapatkan nilai 80 – 100, dikategorikan benar-benar memahami konsep penjumlahan.
2)Kategori sedang; yaitu anak yang mendapatkan nilai 50 – 79, dikategorikan sudah memahami konsep penjumlahan tetapi masih membutuhkan sedikit bimbingan dan latihan.
3)Kategori buruk; yaitu anak yang mendapatkan nilai di bawah 49, dikategorikan belum memahami konsep penjumlahan dan membutuhkan bimbingan yang intensif dari guru.

c.Pengurangan
Ada tiga kemungkinan hasil yang dicapai oleh setiap anak, yaitu:
1)Kategori baik; yaitu anak yang mendapatkan nilai 80 – 100, dikategorikan benar-benar memahami konsep pengurangan.
2)Kategori sedang; yaitu anak yang mendapatkan nilai 50 – 79, dikategorikan sudah memahami konsep pengurangan tetapi masih membutuhkan sedikit bimbingan dan latihan.
3)Kategori buruk; yaitu anak yang mendapatkan nilai di bawah 49, dikategorikan belum memahami konsep pengurangan dan membutuhkan bimbingan yang intensif dari guru.

3.Rekapitulasi Data
Hasil perhitungan asesmen direkap pada Suatu format tertentu

Disusun oleh:
Kelompok 2
PKKH UPI BANDUNG 2009

Senin, 09 Mei 2011

KONSEP PENDIDIKAN INKLUSIF

Sambasalim.comPendidikan InklusiF
Konsep Pendidikan Inklusi

A. Latar Belakang Historis Pendidikan Inklusi
Sejarah dan pengalaman telah menunjukkan bahwa peradaban manusia terus berkembang, seiring dengan perkembangan pola pikir manusia akibat dari pengalaman dan pendidikan yang diperoleh masyarakat. Salah satu pemahaman dan pengetahuan tersebut yaitu telah mengajarkan kepada manusia bahwa setiap orang memiliki hak yang sama untuk hidup. Pemahaman dan pemikiran serta pandangan seperti inilah yang berhasil menyelamatkan kehidupan anak?anak yang terpinggirkan, termarjinalisasi dan dipisahkan dari masyarakat termasuk di dalamnya penyandang cacat.
Dikatakan menyelamatkan hidup anak?anak penyandang cacat karena pengalaman dan sejarah telah menorehkan sesuatu yang menganggap anak penyandang cacat tidak berguna bahkan anak dalam keadaan cacat dibunuh, dibuang/diasingkan. Pemahaman dan pandangan selanjutnya terhadap penyandang cacat berubah seiring dengan perkembangan pola pikir manusia, hal tersebut menjadi sangat penting selain dipandang sebagai lambang dari sebuah pemikiran dan peradaban yang lebih maju dari suatu bangsa, juga sebagai awal bahwa anak penyandang cacat mulai diakui, dihargai keberadaannya, dan oleh sebab itu mulai berdiri sekolah?sekolah khusus, rumah?rumah perawatan dan panti sosial yang seem khusus mendidik dan merawat anak?anak penyandang cacat.
Namun demikian dalam kondisi awal sejarah membuktikan bahwa mereka yang menyandang kecacatan, dipandang memiliki karakteristik yang berbeda dari orang kebanyakan, sehingga dalam pendidikannya mereka memerlukan pendekatan dan metode yang khusus pula sesuai dengan karakteristiknya. Oleh sebab itu, pendidikan anak penyandang cacat saat itu harus dipisahkan (di sekolah khusus) dari pendidikan anak lainnya (sistem pendidikan segregasi) (Alimin:2005).
Sistem pendidikan segregasi (memisahkan sistem dan tempat pendidikan bagi anak penyandang cacat/anak luar biasa) khususnya di Indonesia sudah berlangsung cukup lama. Hal ini ditandai sejak dimulainya pendidikan anak tuna netra pada tahun 1901 di Bandung. Sistem pendidikan segregasi lebih melihat anak dari segi kecacatannya (labeling), sebagai dasar dalam memberikan layanan pendidikan (Alimin: 2005).
Setiap manusia memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam kehidupan termasuk memperoleh pelayanan pendidikan. Hak untuk dapat memperoleh pendidikan melekat pada semua orang tanpa kecuali, termasuk anak penyandang cacat. Pemikiran inilah yang memulai bahwa penyandang cacat atau anak luar biasa berhak mendapat pelayanan pendidikan seperti halnya anak?anak umumnya dan hidup bersama dalam situasi sosial yang alamiah.
Seiring dengan lahirnya pemikiran tentang sistem layanan pendidikan yang bersifat integratif tersebut, maka pada awal tahun 1980?an telah dirintis sistem layanan pendidikan yang bersifat integratif yang diprakarsai oleh Helen Keller International’s VCO (FTK). Rintisan sistem layanan pendidikan terpadu baru dilakukan untuk anak tunanetra Rintisan pendidikan terpadu pada akhirnya berkembang dan diperluas bagi anak berkebutuhan khusus jenis lainnya.
B. Latar Belakang Filosofis Pendidikan Inklusi
Dilihat dari sudut pandang, pedagogis, psikologis dan filosofis, sistem pendidikan segregasi (yang lahir dari konsep special education) mengandung beberapa kelemahan dan tidak menguntungkan baik bagi individu penyandang cacat itu sendiri maupun bagi masyarakat pada umumnya.
Secara pedagogis, sistem pendidikan segregasi mengabaikan eksistensi anak sebagai individu yang unik dan holistik, sementara, itu kecacatan anak lebih ditonjolkan. Secara psikologis, sistem segregasi, kurang memperhatikan kebutuhan dan perbedaan individual. Ada kesan menyeragamkan layanan pendidikan anak berdasarkan kecacatan yang disandangnya.
Secara filosofis sistem pendidikan segregasi menciptakan masyarakat eksklusif normal dan tidak normal. Padahal sesungguhnya secara filosofis, penyandang cacat merupakan bagian dari masyarakat yang alami. (David Smith, 1995 dalam Alimin:2005).
Konsep dan pemahaman terhadap pendidikan anak penyandang cacat terus berkembang, sejalan dengan dinamika kehidupan masyarakat. Pemikiran yang berkembang saat ini, melihat persoalan pendidikan anak penyandang cacat dari sudut pandang yang lebih bersifat humanis, holistik, perbedaan individu dan kebutuhan anak menjadi pusat perhatian.
Dengan demikian layanan pendidikan tidak lagi didasarkan atas label kecacatan anak, akan tetapi didasarkan pada hambatan belajar dan kebutuhan setiap individu anak. Oleh karena itu layanan pendidikan anak penyandang cacat tidak harus di sekolah khusus, tetapi bisa dilayani di sekolah reguler terdekat di mana anak itu berada. Cara berpikir seperti ini dilandasi oleh konsep Special needs education, yang antara lain menjadi latar munculnya gagasan pendidikan inklusi (UNESCO, 2003).
Pendidikan inklusi merujuk pada pendidikan untuk semua yang berusaha menjangkau semua orang tanpa kecuali. Perubahan pendidikan melalui pendidikan inklusi ini memiliki arti penting khususnya dalam kerangka pengembangan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus. Perubahan mendasar yaitu perubahan pemikiran dari pemikiran special education (Pendidikan khusus) bergeser ke special needs education pendidikan kebutuhan khusus).
Perubahan tersebut bermakna strategis dan luas terhadap praktek dan layanan pendidikan. Special education memiliki implikasi pemisahan (segregasi) yang berarti adalah, fokus bentuk pendidikannya yang khusus yang mengubah anak agar sesuai dengan tuntutan pendidikan dan sekolah, sedangkan special needs education mengandung semangat inklusi yang berarti pendidikan harus menyesuaikan diri atau mengubah sekolah agar sesuai dengan anak (Supriadi:2003).
Paradigma baru pendidikan inklusi adalah merujuk pada kebutuhan belajar bagi semua peserta didik dengan suatu fokus spesifik pada mereka yang rentan terhadap marjinalisasi atau pemisahan (Sunanto, 2004). Melalui pendidikan inklusi berarti sekolah harus menciptakan dan membangun pendidikan yang berkualitas dan mengakomodasi semua anak tanpa memandang kondisi fisik, sosial, intelektual, bahasa dan kondisi lainnya (Sunanto, 2003).
Berkembangnya pendidikan inklusi merupakan implementasi atau gambaran dari masyarakat inklusi. Masyarakat inklusi adalah semua anak dan orang dewasa sebagai anggota kelompok yang sama dengan berinteraksi satu sama lain, membantu satu sama lain, saling tenggang rasa, menerima kenyataan bahwa sebagian anak atau orang dewasa mempunyai tingkat kebutuhan yang berbeda dari mayoritas, kemudian masyarakat yang cenderung bekerja sama dari pada bersaing atau berkompetisi. Masyarakat inklusi juga diartikan bahwa semua anak atau orang dewasa mempunyai rasa memiliki dan bermitra. Setiap orang akan memandang sesuatu sebagai hal yang alami (Skjorten, 2003).
Pendidikan inklusi berarti bahwa pendidikan dipandang sebagai upaya memberdayakan individu yang memiliki keragaman. Anak tidak lagi dibeda?bedakan berdasarkan. label atau karakteristik tertentu dan tidak ada diskriminasi antara anak yang satu dengan lainnya, dengan demikian berarti semua anak berada dalam satu sistem pendidikan yang sama. Oleh karena itu misi pendidikan yang paling penting adalah meminimalkan hambatan belajar dan memenuhi kebutuhan belajar anak. Setiap anak dihargai eksistensinya, ditumbuhkan harga dirinya, dikembangkan motivasinya dan diterima sebagaimana adanya, sehingga setiap anak akan berkembang optimal sejalan dengan potensi masing?masing.
C. Makna Pendidikan Inklusi
Pendidikan inklusi merupakan ideologi atau cita?cita. yang ingin kita raih. Sebagai konsekuensi dari pandangan bahwa pendidikan inklusi itu sebagai idiologi dan cita?cita, dan bukan sebagai model, maka akan terjadi keragaman dalam implementasinya, antara negara yang satu dengan yang lainnya, antara daerah yang satu dengan yang lainnya atau bahkan antara sekolah yang satu dengan sekolah yang lainnya.
Dengan begitu berarti pendidikan inklusi adalah konsep pendidikan yang merangkul semua anak tanpa kecuali. Inklusi berasumsi bahwa hidup dan belajar bersama adalah suatu cara yang lebih baik, yang dapat memberikan keuntungan bagi setiap orang, bukan hanya anak?anak yang diberi label sebagai yang memiliki suatu perbedaan. Inklusi dapat dipandang sebagai suatu proses untuk menjawab dan merespon keragaman di antara semua individu melalui peningkatan partisipasi dalam belajar, budaya dan masyarakat, dan mengurangi ekslusi baik dalam maupun dari kegiatan pendidikan.
Inklusi melibatkan perubahan dan modifikasi isi, pendekatan, struktur dan strategi, dengan suatu visi bersama yang meliputi semua anak yang berada pada rentangan usia yang sama dan suatu keyakinan bahwa inklusi adalah tanggung jawab sistem regular yang mendidik semua anak (UNESCO, 2003).
Pendidikan inklusi berkenaan dengan aktivitas memberikan respon yang sesuai kepada spektrum yang luas dari kebutuhan belajar baik dalam setting pendidikan formal maupun nonformal. Pendidikan inklusi merupakan pendekatan yang memperhatikan bagaimana mentransformasikan sistem pendidikan sehingga mampu merespon keragaman siswa. Pendidikan inklusi bertujuan dapat memungkinkan guru dan siswa untuk merasa nyaman dengan keragaman dan melihatnya sebagai suatu tantangan dan pengayaan dalam lingkungan belajar, dan pada suatu problem.
Pearpoint and Forest (1992) dalam Mudjito, (2005) menjelaskan nilai penting yang melandasi suatu sekolah inklusi adalah penerimaan, pemilikan, dan asumsi lain yang mendasari sekolah inklusi adalah, bahwa mengajar yang baik adalah mengajar yang penuh gairah, yang mendorong agar setiap anak dapat belajar, memberikan lingkungan yang sesuai, dorongan, dan aktivitas yang bermakna. Sekolah inklusi mendasarkan kurikulum dan aktivitas belajar harian pada sesuatu yang dikenal dengan mengajar dan belajar yang baik.
Akhirnya dapat dirumuskan bahwa pendidikan inklusi adalah proses pendidikan yang memungkinkan semua anak berkesempatan untuk berpartisipasi secara penuh dalam kegiatan kelas reguler, tanpa memandang kelainan, ras, atau karakteristik lainnya.
D. Tujuan Pendidikan Inklusi
Pendidikan inklusi memberikan berbagai kegiatan dan pengalaman, sehingga semua siswa dapat berpartisipasi dan berhasil dalam kelas reguler yang ada di sekolah tetangga atau sekolah terdekat. Dengan demikian kehadiran pendidikan inklusi berpotensi mampu memberikan kontribusi yang berarti bagi setiap anak dengan segala keragamannya, terutama anak berkebutuhan khusus.
Pendidikan inklusi adalah sebuah proses pendidikan bagi semua anak. Hal ini melibatkan semua anak tanpa menghiraukan bagaimana kondisi siswa. Sehingga, penyesuaian pendidikan harus dirancang berdasarkan pada kebutuhan khusus dari semua anak. Pendidikan inklusi mengandung konsekuensi bahwa dibutuhkan adanya perubahan di sekolah maupun di lembaga pendidikan lainnya. Pertama, perubahan harus ditekankan lebih pada pengembangan kesadaran sosial, termasuk di dalamnya pengembangan kontak dan komunikasi di antara siswa. Kedua, penyesuaian dari isi pembelajaran. dalam rangka menciptakan pendidikan yang lebih bermakna bagi setiap pribadi siswa mesti dilakukan secara baik.
Pendidikan inklusi adalah hak asasi, dan ini merupakan pendidikan yang baik untuk meningkatkan toleransi sosial. Ada beberapa hal yang bisa kita pertimbangkan, antara lain: (a) Semua anak memiliki hak untuk belajar secara bersama?sama, (b) Keberadaan anak?anak jangan dinapikan atau didiskriminasikan, dipisahkan, dikucilkan karena kekurangmampuan atau mengalami kesulitan dalam pembelajaran, (c). Tidak ada satupun ketentuan untuk mengucilkan anak dalam pendidikan, (d) Penelitian telah memperlihatkan bahwa anak-anak mendapat kemampuan yang lebih baik, secara akademik dan sosial di dalam lingkungan pembelajaran yang inklusi , (e) Tidak ada satupun metode dan bantuan pembelajaran di SLB yang tidak dapat dilakukan di sekolah inklusi (f).Semua anak membutuhkan pendidikan, yang akan mampu membantu mereka untuk melakukan hubungan dan mempersiapkan kehidupan yang layak dalam kehidupan masyarakat yang beragam, (g). Inklusi berpotensi untuk mengurangi kekhawatiran dan membangun, menumbuhkan loyalitas dalam persahabatan serta membangun sikap memahami dan menghargai. h) Sasaran pendidikan inklusi tidak hanya anak?anak yang luar biasa/berkelainan saja namun juga termasuk sejumlah besar anak yang terdaftar di sekolah.
Dengan demikian maka tujuan pendidikan inklusi ini berarti pertama, menciptakan dan membangun pendidikan yang berkualitas menciptakan dan menjaga komunitas kelas yang hangat, menerima keanekaragaman, dan menghargai perbedaan, menciptakan suasana kelas yang menampung semua anak secara penuh dengan menekankan suasana sosial kelas yang menghargai perbedaan yang menyangkut kemampuan, kondisi fisik, sosial ekonomi, suku, agama, dansekaligus mengakomodasi semua anak tanpa memandang kondisi fisik, sosial, intelektual, bahasa dan kondisi lainnya. Kedua memberikan kesempatan untuk sama agar memperoleh pendidikan yang sama dan terbaik bagi semua anak dan orang dewasa yang memerlukan pendidikan bagi yang memiliki kecerdasan tinggi; bagi yang secara fisik dan psikologis memperoleh hambatan dan kesulitan baik yang permanen maupun sementara, dan bagi mereka yang terpisahkan dan termarjinkan.
E. Anak Berkebutuhan Khusus
Istilah maupun penjelasan mengenai anak berkebutuhan khusus mengalami perkembangan seiring dengan pemahaman ilmu pengetahuan dan kesadaran masyarakat serta budaya masyarakat. Istilah dan konsep anak dengan pendidikan berkebutuhan khusus (children with special needs education), yang berkembang dalam paradigma baru pendidikan yaitu dalam pendidikan inklusi. Istilah anak berkebutuhan khusus tersebut bukan berarti menggantikan istilah anak penyandang cacat atau anak luar biasa tetapi memiliki cara pandang yang lebih luas dan positif terhadap anak didik atau anak yang memiliki kebutuhan yang beragam. Kebutuhan khusus yang dimaksud dalam hal ini adalah kebutuhan yang ada kaitannya dengan pendidikan (Sunanto:2003).
Dalam tataran pendidikan inklusi, setiap anak dipandang mempunyai kebutuhan?kebutuhan khusus baik bersifat permanen maupun temporer. Kebutuhan permanen adalah kebutuhan yang secara menetap dan terus menerus ada dan tidak akan hilang misalnya ketunanetraan, ketunarunguan, keterbelakangan mental, kelainan emosi, dan sosial. Kebutuhan temporer kebutuhan yang bersifat sementara.
Sementara James, Lynch dalam Astati (2003) mengemukakan bahwa anak?anak yang termasuk kategori anak berkebutuhan khusus adalah anak luar biasa (anak berkekurangan atau anak berkemampuan luar biasa), anak yang tidak pernah sekolah, anak yang tidak teratur sekolah, anak yang drop out, anak yang sakit?sakitan, anak pekerja usia muda, anak yatim piatu dan anak jalanan. Dengan demikian dari penjelasan tersebut. maka anak luar biasa merupakan salah satu dan anak yang dimaksud dengan anak berkebutuhan khusus.
Dengan demikian anak berkebutuhan khusus adalah mereka yang memiliki kebutuhan khusus secara sementara atau. permanen dan atau kecacatan sehingga membutuhkan penyesuaian layanan pendidikan. Kebutuhan mungkin disebabkan kelainan secara bawaan atau dimiliki kemudian, masalah ekonomi, kondisi sosial emosi, kondisi politik dan bencana alam.
Konsep anak berkebutuhan khusus (children with special needs) memiliki makna dan spektrum yang lebeh luas dibandingkan dengan konsep anak luar biasa (exceptional children). Anak berkebutuhan khusus mencakup anak yang memiliki kebutuhan khusus yang bersifat permanen, akibat dari kecacatan tertentu (anak penyandang cacat) dan anak berkebutuhan khusus yang bersifat temporer. Anak yang mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri akibat trauma kerusuhan, kesulitan konsentrasi karena sering diperlakukan dengan kasar atau tidak bisa membaca, karena kekeliruan guru mengajar, dikategorikan sebagai anak berkebutuhan khusus temporer. Anak berkebutuhan khusus temporer, apabila tidak mendapatkan intervensi yang tepat bisa menjadi permanen.
Setiap anak berkebutuhan khusus, baik yang bersifat permanen maupun yang temporer, memiliki hambatan belajar dan kebutuhan yang berbeda?beda. Hambatan belajar yang dialami oleh setiap anak, disebabkan oleh tiga hal yaitu (1) faktor lingkungan (2) faktor dalam diri anak sendiri, dan (3) kombinasi antara faktor lingkungan dan faktor dalam diri anak. Oleh karena itu layanan pendidikan didasarkan atas hambatan belajar dan kebutuhan masing?masing anak (Alimin:2005)
F. Pengelolaan Kelas Dalam Setting Menuju Pendidikan Inklusi
Prinsip pendidikan yang disesuaikan dalam sekolah inklusi menyebabkan adanya tuntutan yang besar terhadap guru reguler maupun pendidik khusus. Hal ini maksudnya, menuntut adanya pergeseran dalam paradigma proses belajar mengajar. Pergeseran besar lainnya adalah mengubah tradisi dari mengajarkan materi yang sama kepada semua siswa tanpa mempertimbangkan perbedaan individual menjadi mengajar setiap anak sesuai kebutuhan individualnya tetapi dalam setting kelas yang sama, dari berpusat pada kurikulum menjadi berpusat pada anak dan perubahan¬-perubahan lainnya (Jhonsen: 2003).
Beberapa hal berkaitan dengan implementasi pendidikan inklusi dalam setting sekolah, Skjorten (2003) mengemukakan tentang perlunya adaptasi kurikulum, perubahan pendidikan yang potensial, kerjasama lintas sektoral dan adaptasi lingkungan. Sedangkan Stainback dan Stainback (1990) dalam Sunardi (2000) menggambarkan bahwa, ”sekolah yang inklusi adalah sekolah yang menampung semua murid di kelas yang sama. Sekolah ini menyediakan program yang layak, menantang, tetapi sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan setiap murid serta bantuan dan dukungan yang diberikan oleh para guru agar anak berhasil. Selain itu sekolah merupakan tempat setiap, anak untuk diterima, menjadi bagian dari kelas tersebut, dan saling membantu dengan guru dan teman sebayanya, maupun anggota masyarakat lain agar kebutuhan individualnya terpenuhi.”
Dalam setting pendidikan inklusi di tataran kelas, pendidikan inklusi menuntut adanya pendidikan/pembelajaran yang berpusat pada anak. Pendidikan inklusi berarti menciptakan dan menjaga komunitas kelas yang hangat, menerima keragaman dan menghargai perbedaan. Pendidikan inklusi juga menuntut penerapan kurikulum yang fleksibel. Pendidikan inklusi juga berarti mendorong guru sebagai fasilitator dan melakukan proses pembelajaran dan pengajaran yang komunikatif dan interaktif, mendorong adanya kerjasama tim guru (team work.).
Pendidikan inklusi memungkinkan penyesuaian? penyesuaian bahan pelajaran, evaluasi, alat, dan penataan lingkungan belajar anak. Pendidikan inklusi berarti mendorong orang tua untuk terlibat secara proaktif dan bermakna, dalam proses perencanaan pendidikan, pengajaran dan pembelajaran, bagi anak.
Dengan kelas inklusi dimaksudkan akan dapat memenuhi kebutuhan individu setiap anak di dalamnya, salah satu contoh anak berkebutuhan khusus kategori anak berbakat. Anak berbakat sebenarnya juga dapat terlayani dengan baik di kelas?kelas inklusi. Namun demikian, Sapon Shevin (1994/1995) dalam Sunardi (2002) mempertanyakan sikap para pakar anak berbakat yang tidak begitu positif terhadap pendidikan inklusi bagi anak berbakat. Mereka khawatir bahwa model inklusi akan menurunkan kualitas dan mengakibatkan penghentian atau percepatan secara individual, pembatasan kurikulum, dan penolakan atas perbedaan individu.
Salah satu strategi pembelajaran yang paling banyak dipakai dalam inklusi, yaitu pembelajaran kooperatif, Penggunaan model pembelajaran ini mereka anggap kurang memberikan tantangan yang sesuai bagi anak berbakat dan hanya menempatkan anak berbakat dalam posisi sebagai tutor teman-teman sebayanya.
Kekhawatiran ini sebenarnya tidak perlu terjadi, karena salah satu karakteristik terpenting dari sekolah inklusi adalah satu komunitas yang kohesif, menerima dan responsif terhadap kebutuhan individual setiap murid (Sunardi 2002). Untuk itu Sapon?Shevin (1994/1995) dalam Sunardi (2002) mengemukakan lima profil pembelajaran di sekolah inklusi.
Pertama, Pendidikan inklusif berarti menciptakan dan menjaga komunitas kelas, yang hangat, menerima keanekaragaman, dan menghargai perbedaan. Guru mempunyai tanggung jawab menciptakan suasana kelas yang menampung semua anak secara penuh dengan menekankan suasana sosial kelas yang menghargai perbedaan yang menyangkut kemampuan, kondisi fisik, sosial ekonomi, agama, dan sebagainya? Dengan demikian pengelolaan kelas dalam pembelajaran kelas yang memang heterogen dan penuh dengan perbedaan?perbedaan individual memerlukan perubahan kurikulum secara mendasar. Guru di kelas inklusi secara konsisten akan bergeser dari pembelajaran yang kaku, berdasarkan buku teks, atau materi biasa ke pembelajaran yang banyak melibatkan belajar kooperatif, tematik, dan berfikir kritis, pemecahan masalah, dan asesmen secara autentik.
Kedua pendidikan inklusif berarti menuntut penerapan kurikulum yang multilevel dan multimodalitas. Kelas yang inklusi berarti pembelajaran tidak lagi berpusat pada kurikulum melainkan berpusat pada anak, dengan konsekuensi berarti adanya fleksibilitas kurikulum dan penerapan layanan program individual atau pendekatan proses kelompok dalam implementasi kurikulum yang multilevel dan multimodalitas tersebut.
Ketiga, pendidikan inklusif berarti menyiapkan dan mendorong guru untuk mengajar secara interaktif. Perubahan dalam kurikulum berkaitan erat dengan perubahan metode pembelajaran. Model kelas tradisional. di mana seorang guru secara sendirian berjuang untuk dapat memenuhi kebutuhan semua anak di kelas harus diganti dengan model pembelajaran dimana murid?murid bekerja sama, saling mengajar, dan secara, aktif berpartisipasi dalam pendidikannya sendiri dan pendidikan teman?temannya. Kaitan antara, pembelajaran. kooperatif dan kelas inklusi sekarang jelas, semua anak berada di satu kelas bukan untuk berkompetisi, tetapi untuk bekerja sama dan saling belajar dari yang lain. Konsep multiple intelligence (intelegensi terdiri dari berbagai dimensi) sangat tepat dalam implikasinya di kelas yang inklusi. Seseorang yang kuat di satu dimensi mungkin lemah pada dimensi lain. Dengan demikian, seorang anak tidak akan selamanya menjadi tutor atau pembimbing teman?temannya, suatu saat dia akan berbalik menjadi anak yang membutuhkan orang lain.
Keempat, Pendidikan inklusif berarti penyediaan dorongan bagi guru dan kelasnya secara terus menerus dan penghapusan hambatan yang berkaitan dengan isolasi profesi. Memaknai prinsip ini berarti aspek terpenting dari pendidikan inklusif meliputi proses pembelajaran dengan kolaborasinya berbagai profesi atau dalam sebuah tim, baik guru kelas, guru pembimbing khusus, dan ahli?ahli lainnya baik dalam kolaborasi perencanaan, pelaksanaan maupun penanganannya.
Kelima Pendidikan inklusif berarti melibatkan orangtua secara bermakna dalam proses perencanaan. Pendidikan inklusi sangat bergantung kepada masukan orang tua pada pendidikan anaknya, misalnya keterlibatan mereka dalam penyusunan program pengajaran. individual.
Pembelajaran menuju pendidikan inklusif berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa menuju pendidikan inklusif adalah terbuka untuk menerima perbedaan anak yang heterogen ditangani oleh tenaga, dari berbagai profesi sebagai satu tim, sehingga kebutuhan individual setiap anak dapat terpenuhi, hal ini tentu saja menuntut banyak perubahan pada sistem pembelajaran konvensional, seperti yang dipakai di Indonesia sekarang, ”Guru biasa”, perlu dibekali dengan pengetahuan dan keterampilan dasar dalam menangani kelas yang heterogen, perlu dikembangkan iklim kerjasama tim dari berbagai tenaga profesional, dan sekolah perlu dilengkapi dengan fasilitas yang memungkinkan semua anak luar biasa belajar di sekolah tersebut.
Prinsip pendidikan yang disesuaikan dalam sekolah inklusi menyebabkan adanya tuntutan. yang besar terhadap guru reguler maupun pendidik khusus. Hal ini maksudnya, menuntut adanya pergeseran dalam paradigma proses belajar mengajar. Pergeseran besar lainnya adalah mengubah tradisi dari mengajarkan materi yang sama kepada semua siswa tanpa mempertimbangkan perbedaan individual menjadi mengajar setiap anak sesuai kebutuhan individualnya tetapi dalam setting kelas yang sama, dari berpusat pada kurikulum menjadi berpusat pada anak dan. Perubahan-¬perubahan lainnya (Jhonsen: 2003).
Disadari bahwa sesungguhnya kondisi saat ini sedang belajar tentang pendidikan inklusif secara komprehensif dan mendalam. Namun demikian sesungguhnya bahwa hal tersebut belum sepenuhnya dipahami dengan benar. Oleh sebab itu harus ada perubahan strategi dalam mengkampanyekan pendidikan inklusi dengan tidak langsung menyampaikan konsep pendidikan inklusi akan tetapi dimulai dengan memperkenalkan konsep sekolah yang ramah dan guru yang ramah. (Alimin, 2005).
G. Implikasi Diberlakukannya Pendidikan Inklusi
Beberapa implikasi dengan diberlakukannya pendidikan inklusif di Indonesia saat ini, adalah sebagai berikut.
1. Bagi sekolah luar biasa (SLB) yang telah lama ada di Indonesia, hendaknya tetap dapat dipertahankan dan dialih fungsikan sebagai (1) sekolah pusat sumber pengembang pendidikan inklusif. Sekolah ini dapat berfungsi menjadi sekolah pusat pelatihan dan pusat sumber tenaga terampil bagi sekolah?sekolah umum dan sebagai penyedia dukungan profesional bagi sekolah?sekolah umum dalam memenuhi kebutuhan pendidikan khusus, (2) menjadi sekolah yang menangani peserta didik dengan karakteristik spesifik dengan memperhatikan metode dan program pembelajaran individu sesuai dengan kebutuhan setiap peserta didik melalui pendekatan inklusif.
2. Bagi lembaga?lembaga pemerintah yang memberikan dukungan pelayanan dalam pendidikan inklusif (seperti Departemen pendidikan Nasional, dan Pemerintah Daerah) seyogianya mampu mengeluarkan kebijakan¬-kebijakan sosial seperti meningkatkan integrasi dan partisipasi serta memerangi eksklusif (keterpisahan). Lebih lanjut diperhatikan tinjauan khusus untuk merombak bentuk?bentuk lembaga yang khusus dan struktur administrasi yang dapat memberikan pelayanan langsung berkaitan dengan pendidikan inklusif.
3. Bagi guru pendidikan luar biasa atau guru khusus dan guru kunjung hendaknya dapat memfungsikan dirinya sebagai guru sumber, dan guru metode pembelajaran inklusif. Pada pelaksanaannya guru ini menjadi yang dapat berkolaborasi dengan guru kelas umum yang bertanggung jawab untuk membina guru kelas umum dalam upaya meningkatkan strategi dan kegiatan?kegiatan yang dapat mendukung pendidikan inklusi bagi anak berkebutuhan khusus di kelas umum. Guru semacam ini harus mampu menciptakan berbagai kegiatan yang kesemuanya merupakan upaya membantu guru?kelas dalam memecahkan permasalahan dan mampu bekerja semaksimal mungkin melakukan kegiatan layanan ¬pembelajaran. Fungsi guru sumber dan guru metode pembelajaran inklusif antara lain sebagai: (1) pengembang perencanaan pembelajaran. (2) pengembang implementasi, (3) mitra?kerja guru kelas umum yang mampu melakukan assesment dalam upaya mendeteksi?dini saat menentukan kemampuan dan kelemahan peserta didik serta memberikan layanan prespektif terhadap peserta didiknya, (4) tenaga pendidik yang mampu melakukan monitoring program, (5) orang yang mampu melalaikan komunikasi dan hubungan dengan pihak-pihak lain, (6) pendidik yang mampu mengajar secara langsung.
Daftar Bacaan
Alimin, Z. dan Permanarian. (2005). Reorientasi Pemahaman Konsep Special Education ke Konsep Needs Education dan Implikasinya Layanan Pendidikan. Bandung: Jassi
Astati. (2001). Pendidikan Luar Biasa di Sekolah Umum. Bandung: Pendawa
Bandi Delphie. 2006. Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus dalam Setting Pendidikan Inklusi. Pidato Pengukuhan Guru Besar. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia
Jhonsen, B.H., and Skjorten M.D., (2003). Menuju Inklusi, Pendidikan Kebutuhan Khusus Sebuah Pengantar, Bandung: Program Pascasarjana UPI Bandung
Skjorten, M. (2003). Menuju Inklusi dan Pengayaan. Artikel dalam Johsen B.H. & Skjorten MD Menuju Inklusi, Pendidikan Kebutuhan Khusus sebuah Pengantar. Bandung: Program Pascasarjana UPI Bandung
Sunardi. (2002). Kecenderungan dalam Pendidikan Luar Biasa. Jakarta: Ditjen Dikti
Toto Bintoro. 2004. Pendidikan Inklusi. Republika Online: http://www.republika.co.id
UNESCO. (2002). Understanding and Responding to Children’s Need in Inclusive Classroom. UNESCO

PERILAKU ADAPTIF ANAK TUNAGRAHITA

PERILAKU ADAPTIF
Anak tunagrahita mengalami kesulitan dalam memahami dan mengartikan norma lingkungan. Oleh karna itu anak tunagrahita sering melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan norma lingkungan dimana mereka berada. Tingkah laku anak tunagrahita sering dianggap aneh oleh sebagaian anggota masyarakat karena mungkin tindakannya tidak lazim dilihat dari ukuran normative atau karena tingkah lakunya tidak sesuai dengan perkembangan umurnya.
Keganjilan tingkah laku yang tidak sesuai dengan ukuran normative. lingkungan berkaitan dengan kesulitan memahami dan mengartikan norma, sedangkan keganjilan tingkah laku lainnya berkaitan dengan ketidaksesuaian antara perilaku yang ditampilkan dengan perkembangan umur. Sebagai contoh anak tunagrahita yang berumur 10 tahun berperilaku seperti anak yang berumur 6 tahun. Hal ini terjadi karena adanya selisih yang signifikan antara umur mental (MA) dengan umur kronologis (CA). ditampilkan nampak seperti anak-anak. Hal ini yang mung- kin menimbulkan persepsi Semakin dewasa anak tunagrahita, semakin lebar selisih yang terjadi. Dilihat dari usia mereka memang dewasa, tetapi perilaku yang masyarakat menjadi salah menilai anak tunagrahita, ia dianggap orang gila. Akibat anak tunagrahita berperilaku aneh, mereka tidak jarang diisolasi dan kehadirannya ditolak lingkungan
Upaya pendidikan seyogianya dapat mengembangkan kemampuan dan keterampilan anak tunagrahita dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan. Program pendidikan tunagrahita yang selama ini berlangsung kurang menyentuh kebutuhan mereka, terlalu formal, artificial dan tidak realistis. Oleh karena itu diperlukan model pembelajaran yang menyentuh kebutuhan anak tunagrahita. Model yang dapat memfasilitasi kearah itu adalah PPI, sayangnya model pembelajaran ini belum dipahami sehingga tidak dapat diaktualisasikan dengan baik dilapangan.

Masalah belajar anak tunagrahita seperti yang telah digambarkan tadi berakibat langsung pada proses pembelajaran. Untuk itu diperlukan suatu model yang dapat membantu mempermudah proses pembelajaran, sehingga upaya mengoptimalkan kemampuan yang dimiliki anak tunagrahita tadi dapat dikembangkan dan menumbuh kan motivasi belajar mereka. Semua itu harus dibawa dalam situasi belajar yang menyenangkan.
Melihat masalah-masalah belajar yang dialami oleh anak tunagrahita, terdapat beberapa hal yang perlu dipertimbangkan di dalam membelajarkan mereka
Pertimbangan yang dimaksud meliputi;
1)Bahan yang akan diajarkan perlu dipecah-pecah menjadi bagian-bagian kecil dan ditata
secara berurutan,
2) Setiap bagian dari bahan ajar diajarkan satu demi satu dan dilakukan secara berulang-ulang , 3) Kegiatan belajar hendaknya dilakukan dalam situasi yang konkrit,
4) Berikan kepadanya dorongan untuk melakukan apa yang sedang ia pelajari,
5) Ciptakan suasana belajar yang menyenangkan dengan menghindari kegiatan belajar yang
terlalu formal,
6) Gunakan alat peraga dalam mengkonkritkan konsep.

PEMBELAJARAN BAGI ANAK TUNAGRAHITA
DENGAN STRATEGI:
1. Membuat Perencanaan Untuk Generalisasi
2. Membuat Konsep-Konsep Yang Abstrak Menjadi Lebih Kongkrit
3. Pembelajaran langsung dan intervensi prilaku
4. Analisis Tugas (belajar yang sangat sistematis), membuat langkah langkah praktis yaitu memperinci berbagai tugas atau kegiatan ke dalam langkah-langkah kecil dan mengajarkan langkah-langkah tersebut kepada siswa
5. Pembelajaran dengan menggunakan teman sebaya ( saling member dan menerima, semua siswa berpartisipasi memiliki kesempatan yang sama)

PENDIDIKAN INKLUSIF

Diakses tgl 01 MEI 2011
Pada situs http://z-alimin.blogspot.com/2008/10/hambatan-belajar-dan-hambatan.html
Kamis, 2008 Oktober 30
HAMBATAN BELAJAR DAN HAMBATAN PERKEMBANGAN PADA ANAK YANG MENGALAMI KEHILANGAN FUNMGSI PENDENAGARAN
1. Pendahuluan
Kehilangan fungsi pendengaran yang dalam bahasa Indonesia disebut dengan istilah tunarungu, dapat dijelaskan melalui dua perspektif yang berbeda. Pertama, merujuk kepada model pendekatan patologis atau pendekatan medis. Pendekatan ini menjelaskan bahwa seorang individu tunarungu dipandang sebagai individu yang tidak utuh. Keutuhan sebagai individu hanya bisa dicapai apabila individu tersebut dapat mendengar dengan cara menyembuhkannya. Kedua, umumnya dikenal sebagai model pendektan sosial atau pendekatan kultural. Model ini menjelaskan bahwa tunarungu bukan merupakan kekurangan (deficiency) tetapi sebuah perbedaan (a diffrence) sebagai bagian dari kondisi kemanusiaan yang secara sosial, emosional, intektual dan akademik berkembang secara individual.
Konseptualisasi dari model sosial atau kultural dalam memahami tunarungu dengan memahami bahwa tidak ada yang disebut dengan dunia tunarungu dan dunia yang bukan tunarungu (mendengar), tetapi hanya ada satu dunia yaitu dunia orang yang mendengar dan yang tunarungu dimana kedua belah pihak eksis dan berinteraksi dalam dunian yang sama (daily basis). Pembahasan dalam modul ini sudah jelas yaitu menggunakan pendekatan sosial atau pendekatan kultural, tetapi harus disadari bahwa individu yang tunarungu akan mengalami hambatan dalam berinteraksi dengan lingkungan.
Jika kita percaya dan perpegang pada pendekaan sosial dan pendektan kultural bahwa tunarungan bukan merupkan deficiency tetapi dipandang sebagai sebuah perpedaan, maka sesunguhnya tidak lagi relevan apabila kita memahami tunarungu dengan mengidentifikasi karakteristiknya, karena identifikasi terhadap karakteristik merupakan kepanjangan dari pendekatan patologis dan medis. Menjadi sangat relevan jika dalam memahmi tunarungu lebih melihat akibat atau dampak dari kehilangan fungsi pendengaran terhadap perkembangan secara keseluruhan.
Ada alasan-alasan mengapa dampak atau akibat dari kehilangan fungsi penglihatan lebih penting untuk dipahami daripada karakteristik, dapat dijelaskan sebagai berikut: (a) Karakteristik menggambarkan sifat yang permanen dan melekat, berlaku untuk semua individu yang mengalai tunarungu, padalah seorang tunarungu adalah seorang individu yang memiliki aspek-aspek psikologis, sosial dan kultural yang berbeda-beda secara individual sama halnya seperti individu yang bukan tunarungu (mendengar), (b) dampak lebih menggambarkan dan mengakui eksistensi individu tunarungu, karena tidak semua individu yang mengalami tunarungu mengalami dampak yang sama.
Meskipun dampak dari kehilangan fungsi pendengaran itu bisa bersifat individual, tetapi masih dapat juga dibuat kategorisasi yang bersifat fleksibel, misalnya dampak kehilangan fungsi pendengaran terhadap perkembangan fungsi kognitif, tetapi tidak semua individu ketunarungan akan mengalami dampak yang sama pada aspek tersebut. Individu yang satu mungkin mengalaminya tetapi individu yang lain tidak.
Oleh karena itu uraian dan analisis tentang tunarungu yang dikemukakan pada modul ini lebih mengedepankan pendirian yang didasari oleh pendektan sosial dan kultural bukan pendekatan patologis atau medis.

2. Konsep dan Definisi
Untuk mendiskusikan dan mengembangkan program pendidikan bagi individu yang mengalami kehilangan fungsi pendengaran (tunarungu), perlu dipahami secara lebih jelas tentang konsep dan definisinya.
a. Terminologi
Terdapat istilah-istilah yang perlu dipahami secara lebih jelas, dalam bahasa Inggis terdapat istilah hearing impairment, istilah ini menggambarkan adanya kerusakan atau gangguan secara fisik. Akibat dari adanya kerusakan itu akan mengakibatkan gannguan pada fungsi pendengaran. Anak mengalami kesulitan untuk memperoleh dan mengolah informasi yang bersifat auditif, sehingga dapat menimbulkan hambatan dalam melakukan interaksi dan komunikasi secara verbal. Dengan kata lain anak mengalmi disability dalam berkomunikasi akibat dari kehilangan fungsi pendengaran (impairment)
Istilah hearing impairment diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi istilah tunarungu, yang di dalamnnya terkandung dua katagori yaitu yang disebut dengan deaf dan hard of hearing (Moores, 2001). Istilah deaf menggambarkan kondisi kehilangan pendenganran yang berat, sementra istilah hard of hearing menggambarkan keadaan individu yang bersangkutan masih memilki sisa pendengaran.
Deaf atau dapat diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi istilah tuli yang dapat didefinisikan sebagai berikut : ketunarunguan (hearing impaiment) yang begitu berat dimana anak mengalami ketidakmampuan dalam memproses informasi linguistik melalui pendengaran, dengan atau tanpa pengerasan suara yang sangat mempengaruhi dalam mengikuti pendidikan (Moores, 2001). Istilah hard of hearing adalah tunarungu (hearing impairment) yang masih memiliki sisa pendengaran apakah bersifat permanen atau fluktuasi, memiliki kemungkinan untuk bisa berkomunikasi secara verbal. Meskipun demikian tetap mempengaruhi anak tersebut dalam mengikuti pendidikan (Moores, 2001).

b. Definisi yang Berhubungan dengan Usia Saat Ketunarunguan Diperoleh
Sesesorang menjadi tunarungu mungkin diperoleh sejak lahir atau mungkin pula diperoleh setelah lahir. Pada bagian ini akan dijelaskan beberapa istilah yang berhubungan dengan kejadian tunarungu dihubungkan dengan usia anak yang bersangkutan.
Prelingual deafness istilah yang digunakan untuk menjelaskan kondisi seseorang dimana ketunarunguan diperoleh sejak lahir, atau terjadi sebelum anak dapat berbicara. Sementara itu istilah post lingual deafness adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan kondisi seseorang yang mengalami ketunarunguan pada saat terjadinya atau bersamaan dengan perkembangan bahasa. Dengan demikian maka semua bayi yang baru lahir adalah prelinguistic. Seorang bayi yang baru lahir mungkin prelingual hearing atau mungkin prelingual deaf. Sementara itu istilah post lingual deaf child menjelaskan tentang anak yang mendengar menjadi tunarungu, dan istilah post lingual hearing menjelaskna keadaan anak yang tunarungu menjadi mendengar setelah dilakukan operasi cochlear implants (Moores, 2001)
Para pendidik saat ini masih banyak yang membatasi ketunarunguan hanya dilihat dari prelingual hearing loss 90 dB atau lebih, meskipun ada juga yang menggunakan rentang ketunarunguan yang lebih inklusif yaitu antra 70-75 dB ke bawah. Secara umum ini berarti bahwa sebagian para pendidik cenderung untuk mengelompokkan anak tunarungu dari 70-90 df dikategorikan sebagai tunarungu berat (deaf), sementra itu sebagian pendidik cenderung mengelompokkan anak tunarungu tersebut sebagai hard of hearing.

3. Dampak Tunarungu (Hearing Impairment) Terhadap Perkembangan
Kehilangan fungsi pendengaran akan memiliki dampak terhadap perkembangan anak secara keseluruhan. Untuk memahami apa yang terjadi pada perkembangan anak jika anak mengalami kehilangan fungsi penglihaan.

a. Dampak Tunarungu terhadap Perkembangan Motorik
Anak tunarungu yang tidak memiliki kecacatan lain dapat mencapai tugas-tugas perkemabangan motorik (early major motor milestones), seperti duduk, merangkak, berdiri dengan tanpa bantuan, dan berjalan sama seperti yang terjadi pada anak yang mendengar (Preisler, 1995). Namun demikian, beberapa hasil penelitain menunjukkan bahwa anak tunarungu memiliki kesulitan dalam hal kesimbangan dan koordinasi gerak umum, dalam menyelesaikan tugas-tugas yang memerlukan kecepatan serta gerakan-gerakan yang kompleks (Ittyerah & Sharma, 1997).
Jika dibandingkan dengan anak-anak yang mendengar, anak tunarungu pada usia 6-10 tidak begitu terampil dalam melakukan gerakan koordinasi dinamik, seperti misalnya berjalan mundur-maju pada papan yang sempit, loncat dan lompat. Anak tunarungu juga tidak begitu terampil dalam koordinsi visual motorik seperti dalam merenda tali sepatu pada papan yang diberi lubang.
Ada alasan yang dapat menjelaskan temuan-temuan penelitian tersebut bahwa isyarat pendengaran (auditory cue) dapat memfasilitasi anak yang mendengar dalam memberi respon. Alasan ini dikuatkan oleh Savelberg (1991) dalam dua penelitian yang ia lakukan. Penelitian pertama menunjukkan bahwa anak tunaraungu berusia antra 10-13 tahun melakukan banyak kesalahan dibanding dengan anak mendengar dalam menangkap bola yang dilemparkan kepadanya dari posisi 90 derajat atau lebih di luar lantang pandang, meskipun diberi tanda secara visual. Akan tetapi ketika bola diproyeksikan dari mesin yang mengeluarkan bunyi 20 dB yang dapat didengar oleh anak yang mendengar. Sangat menarik, ketika bola dilemparkan lurus dari depan, anak yang mendengar dapat menagkap lebih banyak bola. Pada penelitian kedua mengeksplorasi apakah isyarat auditori dapat menjelaskan penampilan yang lebih baik pada anak yang mendengar. Anak harus menekan tombol oleh kedua tangan dalam merespon stimulus visual yang diikuti oleh munculnya bunyi yang berukuran 15 dB. Anak tunarungu memerlukan lebih banyak waktu untuk menekan tombol. Hal ini membuktikan bahwa kekurangan dalam informasi auditori dapat mempengaruhi gerak menjadi lebih lambat pada anak tunarungu.

b. Dampak Tunarungu terhadap Perkembangan Perseptual
Anak tunanetra dan tunarungu merupakan contoh ideal untuk mengetes hipotesis tentang kompensasi sensori (sensory-compensation), idenya adalah bahwa kehilangan salah satu pengindaraan dapat dikompensasikan kepada pengindaraan lain yang masih ada dengan cara meningkatkan sensori yang masih ada. Penelitian Savelsberg (1991) menunjukkan bahwa ketika tersedia isyarat penglihatan dan pendengaran, anak yang mendengar memberi respon lebih cepat dan lebih akurat dari pada anak tunarungu. Diduga karena signal auditori menyediakan informasi tambahan yang tidak terdapat secara visual.
Hasil penelitian (Quittner, 1994) menunjukkan bahwa pendengaran dapat mempengaruhi mekanisme visual (visual mechanisms). Pada penelitian ini ditemukan bahwa anak tunarungu berat usia 9-13 tahun yang telah mendapat operasi cochlea menunjukkan performen sama seperti anak mendengar dalam mengerjakan tugas-tugas yang memerlukan pemusatan perhatian secara visual (visual attention taks), seperti tugas menekan tombol kapan saja ketika muncul angka 9 pada layor monitor komputer setelah angka 1. Sementra itu anak tunarungu yang tidak mendapat operasi cochlea, melakukan lebih banyak kesalahan. Temuan penelitian Savelsberg (1991) hasil penelitian Quittner (1994) menunjukkan bahwa akses terhadap suara dapat meningkatkan kemampuan visual anak. Akan tetapi terdapat beberapa bukti hasil penelitian yang menjelaskan bahwa pengalaman juga dapat mempengarauhi kemampuan perseptual pada anak tunarungu.
Secara khusus terdapat sebuah bukti bahwa anak tunarungu yang belajar isyarat ternyata dapat meningkatkan kemampuan visual. Bellugi (1990) menemukan bahwa anak tunarungu yang diperkenalkan kepada isyarat, lebih baik dalam mengenal apa yang sedang dihadapai di bawah pencahayaan dan kondisi orientasi ruang yang berbeda-beda, dibandingkan dengan tunarungu yang tidak diperkenalkan kepada isyarat. Kompensasi perseptual tidak terjasi secara otomatis, tetapi harus melalui latihan-latihan yang intensif. Terdapat dua faktor yang dapat menjelaskan temuan ini. Pertama, anak tunarungu sejak usia dini akan memusatkan perhatian kepada apa yang dihadapinya untuk memahami apa yang sedang terjadi, sedangkan anak yang mendengar tidak selalu fokus terhadap apa yang dihadapinya karena mereka dapat menerima informasi melalui saluran auditori. Kedua, belajar bahasa isyarat sejak usia dini dapat meningkatkan keterampilan visual spatia. Hal ini didukung oleh Emmorey (1993) yang menemukan bahwa tunarungu dewasa yang belajar isyarat memiliki imajinasi visual lebih baik dari pada orang dewasa yang awas dan mendengar.
Tampaknya tidak ada bukti yang dapat dijadikan alasan untuk menerima hipotesis kompensasi sensoris (sensory compensation-hypotesis). Akan tetapi terdapat bukti yang cukup untuk menjelaskan bahwa ketunarunguan dapat mempengaruhi persepsi, sebagai konsekuensi dari tidak bisa mendengar dan hasil belajar bahasa isyarat sebagai hasil belajar bahasa yang bersifat visual-spatial.

c. Dampak Tunarungu terhadap Perkembangan Fungsi Kognitif
Telah banyak usaha dan perhataian dipusatkan untuk memahami bagaimana individu yang menalami tunarungu berpikir dan memahami sesuatu. Untuk mendiskusikan hal ini dapat ditelusuri melalui kontroversi tentang peranan bahasa dalam perkembangan kognitif. Bertahun-tahun para psikolog dan ahli filsafat berdebat tentang apakah bahasa dan berpikir saling berhubungan atau tidak.
Terdapat dua posisi pendapat yang saling bertentangan dalam menjelaskan hubungan antara bahasa dan berpikir yaitu Waston (1913) dan Chomsky (1975). Wastson mengusulkan bahwa proses berpikir adalah benar-benar merupakan kebiasaan gerak (motor habit) pada pangkal tenggorokan. Dalam pandangan ini berpikir, terutama berpikir verbal dan berbicara adalah merupakan proses yang sama. Di pihak lain, Chomsky menjelaskan bahwa bahasa adalah bentuk yang terpisah dari kognitif dan berkembang secara independen. Menurut Chomsky, struktur bahasa terdapat pada otak yang dibawa sejak lahir dan membekali anak pengalaman berbahasa, kemudian bahasa akan berkembang.
Kedua pandangan yang saling bertentangan itu mengundang banyak kritik. Akhli lain berpendapat bahwa berpikir dan bahasa saling berkaitan, namun demikian tidak ada kesepakan tentang bagaimana proses hubunngan itu terjadi, secara spesifik dipertanyakan apakah berpikir menentukan perkembangan bahasa (Piaget, 1967) atau sebaliknya apakah bahasa menentukan berpikir (Sapir, 1912 dalam Madelbaum, 1958). Di antara kedua pendapat itu, Vygotsky (1962) mengusulkan dan mengambil jalan tengah yaitu bahwa bahasa dan berpikir saling mempengaruhi satu sama lain.
Piaget (1967) menjelaskan bahwa inteligensi adalah tergantung kepada tindakan anak di dalam lingkungan dan betanggungjawab atas akibat dari tindakannya. Melalui cara seperti ini, anak mengkonstruksi pemahaman/pengertian tentang lingkungan yang tercermin dalam inteligensi. Bahasa pada anak menurut Piaget, tergantung kepada struktur inteligensi. Jadi apabila pengetahuan atau kognisi berkembang, maka bahasa anak akan berkembang yang menggambarkan adanya perubahan dalam pemahaman. Dalam pandangan ini dijelaskan bahwa bahasa mencerminkan berpikir, meskipun Piaget mengakui bahwa perolehan bahasa memungkinkan pemisahan berpikir dari tindakan.
Caroll, 1956 menjelaskan bahwa persepsi dan pengertian tentang dunia tergantung pada bahasa. Jika bahasa anak dianggap yang sudah diperoleh dianggap berasal dari atribut dari sebuah fenomena, atau ekspresi sebuah konsep, mereka akan mengalami dan memiliki pengertian tentang atribut atau konsep itu. Apabila atribut atau konsep itu tidak diekspresikan dalam bahasa akan tidak akan memiliki pengertian tentang atribut atau konsep.
Menurut Vygotsky, berpikir dan bahasa pada awalnya terpisah dan berkembang secara paralel sampai kira-kira usia 2 tahun. Pada saat itu berpikir dan bahasa mulai bersatu dan saling mempengaruhi satu sama lain, yang pada akhirnya bahasa dapat digunakan untuk berpikir dan pikiran akan tercernin dalam bahasa. Dengan kata lain, hubungan antara berpikir dan bahasa mengarah kepada arah yang sama. Pandangan ini melahirkan banyak penelitian yang dilakukan dalam bidang ini.
Penelitian pada anak tunarungu memberikan jalan keluar untuk memahami hubungan antara bahasa dan kognisi. Jika anak tunaraungu dianggap tidak memiliki bahasa, dan jika bahasa sebagai prerequisit dari kognisi, maka kemampuan anak tunarungu tidak akan bisa bisa berpikir. Sebaliknya, jika bahasa tergantung kepada kognisi maka pengetahuan dan pemahaman anak tunarungan seharusnya sama seperti anak yang mendengar.
Semua memisalkan bahwa anak tunarungu tidak memiliki bahasa. Akan tetapi, tidak ada pandangan teoritis yang mensyaratkan bahwa bahasa adalah bahas lisan. Saat ini sudah diterima secara luar bahwa bahasa isyarat adalah bahasanya orang-orang tunarungu. Oleh karena itu meskipun orang-orang tunarungu tidak bisa berbahasa secara lisan, mereka dapat menggunakan bahasa isyarat yang ekuivalen dengan bahasa yang digunakan oleh orang-orang yang mendengar. Seorang tunarungu yang dapat berkomunikasi dengan menggunakan bahasa isyarat tidak bisa dikatakan bahwa mereka tidak memiliki bahasa. Berdasarkan alasan ini, penelitian tentang perkembangan kognitif pada anak tunarungu menjadi tidak akan memuaskan dengan cara menghubungkan antara bahasa dan kognisi.

1) Pengertian Anak Tunarungu Tentang Objek
Berdasarkan hasil obeservasi terhadap anak tunarungu yang orang tuanya tunarungu (deaf child with deaf parent/dcDP), anak tunarungu yang orang tuanya mendengar (deaf child with hearing parent/dcHP) dan anak yang mendengar dengan orang tuanya tunarungu (hearing child with deaf parent/hcDP). Hasil observasi menunjukkan bahwa anak tunarungu dan anak yang mendengar mempunyai pengertian yang sama tentang objek dan mempunyai pengertian yang sama tentang bagaimana objek itu harus digunakan, meskipun terdapat beberapa perbedaan yang berkenaan dengan pengalaman interaksi dengan orang tuanya dan kemampuan dalam berbahasa serta akibat dari tidak dapat mendengar suara.
Selain itu ada hal yang anak tunarungu tidak akan mengetahuinya, paling tidak dalam cara mengetahunya seperti yang terjadi pada anak yang mendengar, misalnya bunyi kokok ayam jantan dan bunyi letusan balon.

2) Pengertian Tunaraungu Tentang Dirinya dan Orang Lain
Telah dijelaskan bahwa anak tunarungu mempunyai pengertian tentang objek sama seperti anak mendengar. Akan tetapi apakah anak tunarungu memahami bahwa mereka dapat berbagi minat dengan orang lain dan orang lain dapat berbagi dengan dirinya? Preisler (1995) dalam penelitian longitudinal mencatat bahwa dua orang anak tunarungu yang orang tuanya tunarungu (cdDP) diobservasi pada usia 9 bulan menunjukkan mereka mengkoordinasikan perhatiannya kepada orang tuanya dengan perhatiannya kepada objek. Sebagai contoh seorang anak tunarungu melihat sebuah benda yang ditunjuk oleh ibunya dan melihat ibunya ketika anak sedang bermain dengan mainannya. Jelas sekali bahwa anak ini dapat memahami orang lain sebagai communicaative partners.
Pada usia 4 tahun anak yang mendengar, mengerti bahwa orang lain mempunyai pikiran, keyakinan dan perasaan yang berbeda dengan dirinya (Lewis & Mitchell, 1994). Kemampuan seperti ini berkembang melalui percakapan dengan orang lain terutama dengan keluaraganya. Akan tetapi jika ini dianggap sebgai kasus dan anak tunarungu memeliki akses yang terbatas untuk melakukan percakapan dengan orang lain, maka seharusnya tunarungu tidak memiliki pengertian tentang orang lain. Akan tetapi andaikata orang tuanya juga tunarungu dan anak memiliki akses terhadap percakapan dengan menggunakan bahasa isyarat sejak usia dini, maka pengertian anak tanarungu tentang pikiran orang lain akan berkembang.
Beberapa hasil studi menunjukkan bahwa anak tunarungu yang memeilki pengalaman terbatas dalam melakukan percakapan memiliki kesulitan dalam tugas-tugas yang berkaitan dengan memahami pikiran orang lain. Peterson & Siegel (1995) melakukan eksperimen tentang Sally-Anne False Bilief padan 26 anak tunarungu berusia 8-13 tahun yang memiliki tingkat kecerdasan rata-rata. 24 orang dari jumlah itu memeliki orang tua yang mendengar dan di sekolah menggunakan bahasa isyarat dan bahasa lisan secara bersamaan, tetapi mereka tidak memiliki pengalaman penggunaan isyarat sejak kecil. 83 % anak tunarungu tidak berhasil menunjukkan lokasi yang tepat dalam menjawab pertanyaan : Di mana Sally mencari kelerengnya? Hanya 2 orang anak tunarungu yang berhasil dalam mengerjakan tugas ini yaitu anak tunaarungu yang orang tua mereka juga tunaraungu (cdPD), kedua anak ini menggunakan bahasa isyarat sejak usia dini dengan keluarganya.
Pengertian anak tunarungu tentang orang lain sama seperti anak pada umumnya, jika anak tunaraungu memiliki kesempatan yang memadai kepada percakapan dengan keluarganya. Percakapan biasa terjadi dengan bahasa lisan dan atau dengan isyarat. Anak-anak tunarungan yang memiliki akses kepada percakapan dengan keluaraganya sejak usia dini (anak tunarungu yang orang tuanya tunarungu, dalam percakapan menggunakan bahasa isyarat) memiliki pemahaman terhadap orang lain sama seperti anak yang mendengar.
Hal lain yang perlu dipahmi adalah tentang bagaimana anak tunarungu memahami dirinya sendiri, apakah mereka melihat dirinya sebagai tunaraungu? Untuk menjawab pertanyaan ini Martinez & Silvestre (1995) mewawancarai anak tunarungu yang bersekolah di sekolah biasa yang menggunakan bahasa lisan, dan anak yang mendengar. Usia dari dua kelompok ini berkisar antara 12-17 tahun. Mereka ditanya dengan pertanyaan ”Siapa Saya?” Hampir tidak ada perbedaan antara jawaban yang diberikan oleh anak tunarungu dengan jawaban yang diberikan oleh anak yang mendengar dalam menjelaskan dirinya. Jawaban yang diberikan anak-anak tunarungu seperti misalnya: saya suka main bola, badan saya gemuk, saya tidak suka makanan pedas, saya suka tidur siang dsb. Tidak ada seorang pun anak tunarungu yang mengatakan bahwa dirinya tidak bisa mendengar.
Timbul pertanyaan yang menarik bagaimana anak-anak tunrungu berpikir bahwa dirinya tidak bisa mendengar? Gregory, Smith, & Wells (1997) mewawancari 25 orang anak tunarungu berusia 7-11 tahun, yang dalam kehidupannya menggunakan bahasa isyarat dan bahasa lisan. Hasil wawancara ini sangat menarik, tidak semua anak tunarungu dapat menjawab pertanyaan: Apa artinya tulis? Jawaban yang muncul adalah ”Isyarat”, ”tidak mendengar” . Dan apa artinya mendengar? Jawaban yang diberikan anak antara lain: ”berbicara”, ”tidak dapat memberi isyarat”. Jawaban-jawaban yang diberikan oleh hampir semua anak tunarungu yang berjumlah 25 orang menunjukkan bahwa mereka dapat memahami artinya tuli dan dapat membedakannya dengan mendengar.

3) Anak Tunarungu dalam Berpikir Abstrak
Dengan mendasarkan pada teori Piaget, Furth (1973) menjelaskan bahwa keterlambatan perkembangan kognitif pada anak tunarungu bukan disebabkan oleh rendahnya kecerdasan dan atau kurangnya keterampilan linguistik, tetapi lebih karena kurangnya latihan dan pengalaman. Furth (1973) melaporkan bahwa sebagian anak tunarungu dapat berpikir logika simbolik dan permutasi meskipun memiliki keterbatasan dalam keterampilan bahasa, sementara sebagian lagi tidak dapat melakukannya. Sebagian anak tunarungu dapat perpikir logika yang bersifat abstrak. Tunarungu itu sendiri tidak menghalangi kapabilitas berpikir abstrak. Namun demikian kita masih memerlukan penjelasan mengapa sebagian anak tunarungu dapat berpikir abstrak sementara sebagian lainnya mengalami kesulitan untuk melakukannya?
Untuk menjawab pertanyaan itu, Cole & Scribner (1974) melaporkan bahwa remaja dan orang dewasa (bukan tunarungu) yang hanya menerima sedikit pendidikan formal menunjukkan kemampuan berpikir abstrak yang rendah dibandingkan dengan remaja dan orang dewasa dari latarbelakang budaya yang sama tetapi menerima pendidikan formal lebih banyak, menunjukkan kemampuan berpikir abstrak cukup baik. Hal ini mengandung arti bahwa perkembangan kemampuan berpikir abstrak adalah fungsi dari pendidikan formal.
Namun demikian seorang remaja tunarungu yang memiliki kecerdasan rata-rata yang mengikuti pendidikan formal, prestasi belajar yang dicapainya sering kali rendah. Hal ini dapat diparalelkan dengan apa yang dikemukakan oleh Cole & Scribner, yaitu bahwa baik remaja tunarungu maupun remaja yang mendengar tetapi tidak mampu berpikir abstrak sama-sama tidak dapat memperoleh keuntungan dari pendidikan formal.
Sepertinya remaja tunarungu tidak memperoleh keuntungan dari pendidikan formal yang diikutinya, atau dapat dikatakan bahwa kedua kelompok dianggap tidak mengalami pendidikan formal yang memadai.
Gregory (1995) mewawancari remaja tunarungu, hasilnya menunjukkan bahwa 19 orang dapat menjawab pertanyaan yang memerlukan jawaban yang kompleks, 11 orang memahami pertanyaan-pertanyaan yang kompleks, 10 orang lainnya tidak menjawab dengan benar, oleh karena itu tidak digunakan, dan 4 orang tidak berhasil diwawancarai karena keterampilan berkomukasinya tidak memadai. Hasil wawancara Gregory menyimpulkan bahwa kemampuan berpikir abstrak pada tunarungu bukan karena faktor bahasa, melainkan disebabkan oleh tiga hal yaitu: (a) kesulitan tunarungu untuk mengakses kurikulum pendidikan formal karena ketiadaan sistem konunikasi untuk berbagi, (b) keterbatasan perkembangan keterampilan membaca dan menulis, akibatnya kehilangan kesempatan untuk mengembangkan kemampuan berpikir melalui media ini, (c) keterbatasan akses untuk mendapatkan informasi yang diperoleh secara langsung, seperti mendengarkan percakapan orang lain, menonton televisi dsb.

4) Menerima dan Menyimpan Informasi
Kenyataan bahwa anak-anak tunarungu memiliki akses yang terbatas kepada bahasa lisan, oleh karena itu muncul pertanyaan bagaimana mereka menangkap informasi. Ada dugaan atau hipotes yang menyatakan bahwa anak-anak tunarungu akan sangat baik dalam menangkap informasi yang bersifat visual daripada menagkap informasi yang bersifat verval. Untuk menjelaskan dan menganalisis pernyataan itu kita dapat melihat seberapa baik tunarungu dapat mengingat informasi.
Sejumlah studi menunjukkan bahwa ketika tugas-tugas yang diberikan kepada anak tunarungu melibatkan proeses visual anak tunarungu dapat mengingat (recalle) lebih banyak atau sekurang-kurangnya sama seperti anak-anak yang mendengar. Akan tetapi ketika proses verbal dihadirkan, anak tunarungu dapat mengingat informasi lebih sedikit dari pada anak yang mendengar. Selanjutnya, karena terdapat perbedaan antara modalitas pendengaran dengan modalitas penglihatan, dapat dipahami jika anak-anak tunaraungu lebih menguasai informasi yang bersifat spasial dari pada yang bersifat temporal (Arnold & Murray, 1998).
Das & Ojile (1995) melakukan studi untuk melihat bagaimana anak tuanrungu memproses informasi. Dalam studi ini dibandingkan antra anak tunarungu dengan anak yang mendengar berusia antara 9-15 tahun dalam menyelesaikan empat tugas yaitu: verbal successive task (mengerjakan tugas verbal secara berurutan), verbal simultaneous task (mengerjakan tugas berval secara bersaan), non-verbal successive task (mengerjakan tugas non-verbal secara berurutan) dan non-verbal simultaneous task (mengerjakan tugas non-verbal secara bersamaan). Anak-anak tunarungu ternyata lebih baik dalam mengerjaka tugas-tugas non-verbal baik yag berurutan (succsessive maupun simultaneous) dibanding dengan anak yang mendengar pada usia yang sama. Sementra itu anak-anak yang mendengar sedikit lebih baik dalam mengerjakan tugas-tugas yang bersifat verbal (baik yang successive maupun yang simultaeous).
Tugas-tugas atau informasi yang bersifat verbal selalu harus successive atau sequential , sedangakan informasi visual sering lebih bersifat spatial dari pada sequenstial, oleh karena itu pengalaman anak tunaraungu dengan anak yang mendengar berbeda. Akan tetapi beberapa anak tunarungu memperoleh bahasa secara lisan dan sebagian lagi memperoleh bahasa isyarat (yang bersifat spatial dan visual) yang juga memberikan pengalaman kepada anak tunarungu dalam memperoleh informasi secara berutan (sequence). Oleh karena itu timbul pertanyaan menarik apakah penggunaan verbal coding oleh anak tunarungu berhubungan dengan kecakapam mereka dalam berbahasa.
Ketika kita pertama kali diperlihatkan kepada informasi baru yang harus diingat, informasi itu akan masuk ke ingatan jangka pendek. Agar informasi itu dapat diingat diperlukan proses yang sisebut rehearsal (pengulangan). Proeses rehearsal sebuah informasi sangat memungkinkan dengan melabel secara verbal, tanda, atau membayangkan. Anak yang mendengar sejak usia 7-8 tahun, ketika diminta untuk mengingat dan harus mengasilkan sebuah urutan seperti urutan gambar objek, balok-balok berwarna, ternyata dapat melakukan proses rehearsal secara spontan, sedangkan anak-anak tunarungu tidak dapat melalkukan rehearsal secara spontan sampai usia 10-13 tahun. Pendapat ini didukung oleh Bebko (1998) yang menjelaskan bahwa semakin lama anak tuanrungu memperoleh latihan berbahasa, apakah oral atau isyarat, semakin menjadi spontan dalam proses rehearsal.
Walaupun anak tunarungu tidak sebaik anak yang mendengar dalam mengerjakan tugas-tugas verbal, anak tunaraungu masih dapat mengkodekan informasi verbal sekalipun tidak terlalu berhasil. Hal ini memimbulan pertanyaan, apakah anak tunarungu mengkodekan informasi verbal sama seperti yang terjadi pada anak yang mendengar hanya mungkin kurang efisien saja, atau apakah anak tunarungu menggunakan strategi yang berbeda.
Baddeley (1986) menjelaskan bahwa ketika informasi verbal sedang diingat, label dari informasi itu disimpan di phonological store (penyimpanan bunyi bahasa) dan agar tetap berada di sana dan terpelihara, terjadi apa yang disebut dengan articulatory rehearsal loop (proses pengulangan). Campbell & Wright (1990) mengeksplorasi apakah anak tunarungu yang terlatih secara oral menyimpan informasi secara ponologis dengan cara melihat? Jiak kemampuan mereka untuk mengingat pasangan gambar dipengaruhi oleh apakah sajak (kemiripan bunyi) atau tidak? Jika anak tunaraungu menyimpan nama-nama di dalam ingatanya secara fonologi, seharusnya sajak (kemiripan bunyi dari objek) akan membantu dalam mengingat.
Dalam sebuah penelitian Campbell & Wright (1990) membuat dua kelompok anak tunarungu yang rata-rata berusia antara 10-14,5 tahun dan kelompok anak yang mendengar yang berusia rata-rata 8 tahun. Mereka diperlihatkan kepada 6 pasangan gambar yang memiliki kemiripan bunyi dan tulisan (misalnya dalam bahasa Inggris BOX-FOX ), pasangan gambar yang mirip ucapannya tetapi beda tulisan (HAIR-BEAR), pasangan kata yang memiliki arti sama (CUP-SAUCER ) atau pasangan kata yang dibuat secara acak (LAMP-BOOK). Anak-anak ditunjukkan pada satu gambar dari gambar yang berpasangan dan harus melilih pasangannya yang akan menjadi enam pasang gambar. Semua anak dapat mencapai skor tertingi ketika mencari pasangan gambar yang memiliki arti sematik yang berkaiatan. Akan tetapi meskipun anak yang mendengar mengerjakan tugas dengan baik ketika memasangkan gambar yang memiliki kemiripan bunyi daripada pasangan gambar yang dibuat secara acak, tetapi pada anak tunarungu tidak ada perbedaan. Hal ini membuktikan dengan jelas bahwa anak-anak tunarungu tidak menggunakan bunyi/suara dalam mengingat nama-nama kartu gambar sebagai cara untuk mengingat, sedangkan anak-anak yang mendengar menggunakannya.
Telah terbukti bahwa anak-anak tuanrungu tidak menyimpan/mengingat nama-nama gambar secara fonologis, namun demikina Campbell & Wight (1990) melakukan eksplorasi tentang apakah anak tunarungu menggunakan articulatory rehearsal loop dalam mengingat. Articulatory rehersal loop memiliki kapasitas waktu terbatas kira-kira sekitar 2 detik, sehingga akan lebih banyak nama-nama dapat diingat-ingat dan jika kata-katanya mengandung sedikit suku kata sebab mengucapkan kata-kata yang panjang memerlukan waktu lebih lama.
Anak tunarungu remaja berusia 12-17 tahun dan dua kelompok anak yang mendengar berusia 6-11 tahun dan 13-14 tahun, diberi tugas untuk mengingat susunan dari 4 atau 6 gambar secara berurutan, baik memilih dari satu pak yang terdiri dari 10 gambar maupun menyusun gambar secara berurutan dari kiri ke kanan sambil menyebutkan nama gambar, seperi: 1-kursi, 2- kelinci, 3-ambulan. Anak tunarungu usia 12-17 tahun sama seperti anak mendengar usia 6-11 tahun dalam mengingat dimana kedua kelompok ini dapat mengingat sedikit gambar yang memiliki nama/kata yang lebih panjang, ketika kata/nama gambar itu harus disebutkan. Temuan dari eksperimen ini membuktikan bahwa anak tunarungu menggunakan articulatory loop ketika mereka diminta untuk mengunakan bahasa dalam mengingat tetapi mereka cenderung tidak menyimpaan informasi secara fonologis. Tidak mengherankan jika anak tunarungu berat hanya memiliki sedikit akses kepada bunyi- bunyi kata.
Membaca bibir membekali anak tunarungu dengan informasi ponologis, meskipun modalitasnya berbeda dari anak yang mendengar dan tidak memberikan informasi sebanyak bahasa lisan. Dalam sistem ini isyarat tangan mendekati gerak bibir digunakan untuk membedakan fonem yang tidak bisa dibedakan secara visual. Jadi, isyarat bicara menyediakan informasi fonologis yang tidak dimiliki oleh anak-anak tunarungu.
Pada bagian ini telah dibahas tentang perkembangan kognitif anak tunarungu dari sejumlah perspektif. Sementara itu sejumlah studi telah menunjukkan bahwa keterampilan kognitif anak tunarungu sebagai kelompok berbeda dari anak-anak yang mendengar. Hal yang menaarik adalah meskipun hampir pada semua kasus menunjukkan bahwa anak-anak tunaraungu menunjukkan keterlambatan dalam perkembangan kognitifnya, akan tetapi tidak semua anak tunarungu mengalami keterlambatan itu. Kita melihat dalam situasi yang bervariasi bahwa jika anak tunarungu memiliki akses kepada lingkungan informasi sebagai hasil dari berbagi sistem komunikasi, anak tunarungu menunjukkan performen sama seperti anak yang mendengar. Terdapat implikasi yang jelas terhadap pendidikan bagi anak tunarungu, khususnya dalam ketersediaan bahasa yang dapat mereka peroleh dan melalui bahasa mereka dapat berbagi pengetahuan dan informasi kepada orang lain.

d. Perkembangan Komunikasi
Studi tentang komunikasi pada anak-anak tunarungu berperan sangat signifikan dalam perkembangan. Kita telah melihat bahwa perkembangan kognitif anak-anak tunarungu yang orang tuanya yang juga tunarungu (cdDP) perkembangan kognitifnya relatif sama seperti anak-anak yang mendengar dari pada anak-anak tunarungu yang orang tuanya mendengar (cdPH). Hal ini sangat menarik dan timbul pertanyaan bagaimana komunikasi berkembang pada anak tunarungu, baik pada cdPH (children deaf hearing parents) maupun pada cdPD (children deaf parents deaf).

1) Anak tunarungu dan Orang Tuanya Membangun Perhatian Bersama
Salah satu prasyarat untuk berkomunikasi adalah keterlibatan individu-individu tehadap satu objek yang sama. Telah dibahas bahwa anak tunarungu yang orang tuanya tunarungu (cdPD) terlibat dalam komunikasi dengan orang tuanya sejak tahun-tahun pertama, sementara anak-anak tunarungu yang orangtuanya mendengar (cdPH), baru terjadi komunikasi pada tahun-tahun kedua (Meadow-Orlans & Spencer, 1996; Preisler, 1995).
Seperti halnya bayi yang mendengar, bayi tunarungu mulai menunjukkan minat terhadap objek sejak umur 4-5 bulan. Ketika hal ini terjadi, seorng ibu yang tunarungu membiarkan dan hanya melihat anaknya, sambil menunggu anaknya itu melihat kepadanya sebelum memberi isyarat apaun. Oleh karena itu mengapa orang tua yang tunarungu tidak banyak meberikan isyarat kepada bayinya. Sebaliknya, orang tua yang mendengar sering mengganggu bayinya yang tunarungu ketika bayinya sedang melihat-lihat objek dengan cara mengarahkan perhatian atau memberi komentar terhadap objek yang sedang dilihat oleh anaknya.
Keadaan seperti itu sesuai dengan studi yang dilakukan oleh Spencer (1992), ia mengobservasi bayi tunarungu usia 12-13 bulan. Pada studi ini, bayi duduk di depan ibunya yang mendengar maupun yang tunarungu di dalam ruangan yang tersedia beberapa objek. Bayi tunarungu melihat-lihat objek yang ada di sekitar ruangan seperti juga anak yang mendengar ketika berhadapan dengan banyak objek. Ketika bayi tunarungu melihat sebuah objek, orang tuanya yang tunarungu duduk diam saja sampai bayinya berbalik dan melihat kepadanya. Sebaliknya, orang tua yang mendengar berusaha/mencoba mengarahkan perhatian anaknya atau mengatakan sesuatu tentang objek, sementara anak masih memperhatikan objek.
Orang tua yang mendengar berbicara kepada anaknya yang mendengar tentang apa yang sedang dilakukan oleh anak. Hal ini sangat jelas merupakan strategi yang efektif, karena anak secara simultan dapat melihat objek dan mendengar nama dari objek itu. Dengan demikian memungkinkan terjadinya pertautan antara objek dengan label nama objek itu. Bagi anak yang tunarungu tidak dapat menghubungkan objek dan mengenal nama objek itu secara bersamaan. Bagi anak tunarungu apapun yang dikomunikasikan oleh orang tuanya tentang sesuatu objek, harus membagi perhatiannya kepada objek yang sedang diperhatikan kemudian kepada isyarat atau gerak bibir orang tuanya yang mengakatan sesuatu tentang objek itu. Oleh karena itu tidak terjadi pertautan antara objek dengan nama objek itu secara simultan.
Pada orang tua yang tunarungu terjadi apa yang disebut bracketing yaitu ketika orang tua menunjuk pada sebuah objek yang sedang diperhatikan oleh anaknya yang tunarungu, orang tua memberi nama objek itu dengan isyarat dan menunjuk kembali pada objek itu. Aktivitas lainnya yang dilakukan yaitu orang tua yang tunarungu memberi nama objek dengan isyarat, menunjuk kepada objek, dan kembali menamai objek itu. Cara yang dilakukan oleh orang tua tunarungu terhadap anaknya yang tunarungu seperti itu sangat memungkinkan terjadinya pertautan secara simultan antara objek dengan isyarat tentang objek. Hal seperti ini sama seperti yang terjadi pada orang tua yang mendengar ketika mengatakan nama objek pada saat anaknya yang mendengar sedang memperhatikan objek itu. Oleh karena itu tidak mengherankan bahwa anak tunaraungu yang orang tuanya juga tunarungu memiliki perkembangan kognitaif yang relatif sama dengan anak yang mendengar.
Terdapat perbedaan yang jelas antara orang tua yang tunarungu dengan orang tua yang mendengar dalam merarik perhataian anaknya yang tunarungu kepada orang tuanya. Orang tua yang tunarungu sering mengambil inisiatif untuk menarik perhatiaan anaknya yang tunarungu dengan cara melihat langsung anaknya. Jika cara ini tidak berhasil orangtua yang tunarungu melambaikan tangan pada daerah lantang pandang, dan jika nasih belum berhasil juga, orang tua melakukan kontak secara fisik, seperti menyentuh tangan atau pundak anak. Orang tua yang mendengar tidak melakukan hal seperti yang dilakukan oleh orang tua yang tunarungu untuk menarik perhatian anaknya yang tunaraungu. Orang tua yang mendengar lebih banyak menggunakan bahasa verbal untuk menarik perhatian anaknya yang tunarungu (Koester, Karkoswski & traci, 1998).
Orang tua yang mendengar dan orang tua yang tunarungu juga berbeda dalam frekuesni untuk memperoleh perhatian anaknya yang tunarung. Harris dan Mohay (1997) mengobservasi bayi tunarungu berusia 18 bulan yang orang tuanya tunarungu (cdPD) dan bayi tunarungu yang orang tuanya mendengar (cdPH) ketika sedang bermain dengan ibunya. Orang tua yang tunarungu melakukan banyak usaha untuk mendapatkan perhatian anaknya yang tunarungu daripa orang tua yang mendengar pada rentang waktau 10 menit ketika orang tua dan anaknya bermain secara bebas. Orang tua yang tunarungu berjumlah 5 orang sukses mendapatkan perhatian anaknya sekurang-kurangnya 3 kali selama 10 menit, sedangkan orang tua yang mendengar yang berjumlah 5 orang hanya 1 orang saja yang berhasil mendapatkan perhataian anaknya yang tunarungu lebih dari tiga kali dalam waktu 10 menit.
Sangat jelas terdapat perbedaan antara orang tua anak tunarungu yang juga tunaarungu dengan orang tua anak tunarungu yang mendengar dalam hal membangun perhatian besama dengan anaknya yang tunarungu. Perbedaan ini sangat terkait dengan pengalaman yang dimiliki oleh orang tua yang tunarungu dalam berkomunikasi dengan orang tunarungu lainnya dengan menggunakan bahasa isyarat. Jelas sekali bahwa orang tua yang mendengar tidak memiliki pengalaman dalam penggunaan bahasa isyarat dan tidak dapat menyediakan bahasa yang aksesibel bagi anaknya yang tunarungu.
Kita semua mengetahui bahwa anak yang mendengar sudah dapat berkomunkasi sebelum mereka dapat berbicara dan oleh karena itu timbul pertanyaan menarik tentang apakah anak tunarungu yang orang tuanya mendengar dapar berkomunikasi atau tidak sebelum mereka memperoleh bahasa verbal.

2) Penggunaan Isyarat Tangan (gesture) Dalam Berkomunikasi dengan Orang Tua
Anak tunaraungu yang orang tuanya mendengar diperkenalkan kepada bahasa lisan dan menggunakannya isyarat tangan (gesture) untuk berkomunikasi dengan orang tuanya dirumah dan kadang-kadang isyarat ini disebut sebagai isyarat rumah (home sign).
Anak yang mendengar juga menggunakan isyarat tangan (gestur) dalam berkomunikasi, tetapi cenderung terus menurun frekuensi penggunaannya sejalan dengan berkembangnya kemampuan berbicara. Sebagai perbandingan, ketika anak tunarungu yang orang tuanya mendengar (cdPH) tumbuh menjdi lebih tingi usianya, isyarat tangan (gesture) terus berkembang, dan malah mulai mengkombinasikannya dengan isyarat baru yang ditemukannya (Meadow, 1995). Isayarat (gesture) ini digunakan utnuk menyampaikan masksud kepada aorang lain.
Lebih dari dua dekade Goldin-Meadow (1996) mengobservasi 10 anak tunarungu Amerika yang orang tuanya mendengar dalam berkomunikasi dengan menggunakan bahasa lisan. Obsevasi dilakukan ketika anak-anak tunaarungu mulai berusia 1,5 dan 4 tahun dan diambil gambarnya melalui vidio pada situasi-situasi tertentu. Hasil observasi menununjukkan bahwa anak tunarungu ini memunculkan tiga tipe isyarat (gesture) yang berbeda yaitu: deictic gesture, digunakan utntuk menununjuk objek tertentu misalnya orang atau lokasi; iconic gesture (seperti pantomin) digunakan untuk menyampaikan satu pengertian kepada orang lain dan marker gesture, yaitu isyarat yang lazim digunakan oleh orang yang mendengar sepeti menggelengkan dan menganggukkan kepala sebagai tanda tidak setuju dan setuju, menunjukkan jari ke atas untuk menyampaikan keinginan agar orang lain menunggu.
Isyarat yang dihasilkan oleh anak-anak tunarungu cenderung stabil dalam waktu lama. Seorang anak tunarungu diobservasi selam dua tahu mulai usia 2 tahun 10 bulan samapai usia 4 tahun 10 bulan dalam menggunakan isyarat (gesture), menghasilkan 190 gesture yang berbeda-beda dan 109 dari jumlah itu digunakan lebih dari satu kali. Pada perkembangan selanjutnya, anak tunarungu dalam menggunakan gesture menjadi lebih menetap (satu gesture yang mempunyai arti tertentu terus digunakan berulang ulang) dan menjadi perbendaharaan gesture anak tersebut (Goldin-Meadow, 1994).
Anak tunarungu dalam menghasilkan gesture bersifat sekuensial, menurut tataurut tertentu. Misalnya, menununjuk satu objek mungkin diikuti oleh karakteristik khusus dalam menyampaikan satu tindakan atau atribut dari objek. Sangat menarik bahwa kombinasi ini mencerminkan relasi semantik seperti pada anak yang mendegar ketika mengucapkan dua kata yang mengandung urutan. Ini menunjukkan bahwa sistem isyarat (gestural system) pada anak tunarungu memiliki sturktur sintaktik yang sejajar dengan bahasa yang digunakan oleh orang yang mendengar (Goldin-Meadow, 1994).
Tampaknya sangat jelas bahwa anak-anak tunarungu menciptakan system gesture atau homesign untuk berkomunikasi yang mirip dengan bahasa. Namun demikian gesture akan menjadi alat komunikasi yang menyerupai bahasa jika hanya digunakan sebagai satu-satunya cara untuk berkomunikasi. Jadi, anak tunarungu yang orang tuanya mendenngar (cdHP) mengembangkan bahasa isyarat dirumah (homesign) yang akan menjadi bahasa yang menyerupai bahasa yang digunakan oleh orang yang mendengar. Secara lebih jelas, orang tua anak tunarungu yang berkomunikasi melalui bahasa lisan, mengunakan gesture untuk menyertai bahasa yang digunakannya, akibatnya isyarat yang digunakan oleh orang tua tidak menunjukkan ciri-ciri bahasa. Sementara itu gesture yang digunakan oleh anak tunarungu memiliki ciri sebagai bahasa.
Orang tua anak tunarungu yang mendengar disamping menggunakan gesture juga menggunakan bahasa lisan (bicara) kepada anaknya, dan dapat belajar dan menggunakan bahasa isyarat. Sama halnya orang tuan anak tunarungu yang tunarungu akan menggunakan bahasa isyarat dengan anaknya yang tunarungu.


3) Apakah Belajar Isyarat pada anak Tunaraungu Seperti Belajar Bicara pada
Anak yang Mendengar

Jika bahasa isyarat diterima sebagai sebuah bahasa maka seharusnya memiliki aspek fonologi, morfologi, semantik dan sintaksis. Timbul pertanyaan, apakah perolehan bahasa yang bersifat visual-manual berbeda dengan perolehan bahasa oral? Pada bagian ini akan dibahas tentang perbedaan karakteristik bahasa, termasuk mengoceh (babbling), usia permulaan dalam berbahasa, perkembangan kosa-kata, penggunaan kata majemuk, negasi dan private speech.
Mengoceh (babbling) ditandai oleh produksi elemen-elemen fonetik bahasa oranng dewasa yang secara sistematis digabungkan menjadi suku kata yang tidak punya arti atau referensi. Anak-anak tunarungu sangat terlambat dalam mengoceh (babbling) secara vokal. Akan tetapi Pettito & Marentette (1991) melaporkan bahwa bay tunarungu yang orang tuanya tunarungu (cdPD) mengoceh pada tahun pertama. Dua ana anak taunak tunaraungu yang orang tuanya tunarungu (cdPD) dan tiga anak yang mendengar yang orang tuanya mendegar (hcHP) diambil gambar vidio pada usia 10, 12 dan 14 bulan. Ank tunarungu menghasilkan 9 kali mengoceh seperti halnya anak yang mendengar, dan semua anak menghasilkan jumlah yang sama dalam berkomunikasi dengan mengunakan gesture , seperti mengangkat tangan ketika ingin dipangku.
Demikian pula, Meicer & Willerman (1995) melaporkan bahwa proporsi gesture yang dihasilkan oleh 3 orang anak tunarungu yang orang tuanya tunarungu (cdPD) dan anak 2 orang anak mendengar yang orang tuanya mendengar (hcHP) yang berusia 7-15 bulan adalah sama. Data ini membuktikan bahwa kapasitas bahasa mendasari perolehan baik isyarat maupun bahasa lisan. Meicer & Willerman (1995), menjelaskan bahwa manual dan vocal babbling mencerminkan perkembangan motorik yang diorganisasikan secara ritmik.
Anak yang mendengar menghasilkan bahasa bahasa pertama kali pada usia 11-14 bulan, memiliki 10-50 kata pada usia 15-19 bulan dan mulai mengkombinasikan kata-kata pada usia 18-22 bulan. Pettito & Marentette (1991) melaporkan bahwa dua anak tunarungu yang mereka obsevasi mulai menghasilkan isyarat pada usia 11 bulan, umur yang sama seperti anak yang mendengar mulai menghasilkan kata pertama kali. Schlesinger & Meadow (1972) mengobervasi perkembangan anak tunarungu perempuan sejak usia 8 bulan sampai 22 bulan. Orang tua anak ini juga tunarungu dan menggunakan American Sign Language (ASL) dalam berkomunikasi. Anak tunarungu ini pertama kali dapat memahami isyarat pada usia 10 bulan. Pada usia 14 bulan mulai dapat membuat kombinasi isyararat (misalnya selamat tidur), dan pada usia 19,5 bulan sudah memiliki 142 isyarat dan sudah mengenal 14 huruf alfabet secara manual. Hasil observasi ini menjelaskan bahwa peroleh bahasa isyarat pada anak tunarungu ini berkembang lebih dahulu dibandinglan dengan perkembangan bicara pada anak yang mendengar.
Sebagai bahan pembanding, Harris (1992) mengobservasi 4 orang anak tunarungu yang orang tuanya tunarungu (cdPD). Hasil observasi ini menunjukkan beberapa anak tunarungu lebih lambat dalam perolehan bahasa isyarat. Harris menemukan bahwa perbedaan usia dalam perolehan bahasa isyarat dan jumlah kosakata bahasa isyarat yang dikuasai pertama kasli. Sebagai contoh Harris mencatat bahwa pada usia 2 tahun hanya 1 orang dari 4 anak tunarungu yang dilaporkan oleh orang tuanya menggunakan bahasa isyarat yang bervariasi dalam jumlah yang banyak. Ibu dari anak tunarungu lainnya melaporkan bahwa anaknya hanya menggunakan bahasa isyarat dengan jumlah yang sedikit. Sementara 2 anak tunarungu lainya melaporkan bahwa anaknya belum menggunakan isyarat. Dalam obervasi yang dilakukan selam 20 menit terhadap ke 4 orang anak ini menghasilkan 16, 7, 1 dan 0 isyarat. Di lain pihak Harris mengobservasi anak yang mendengar pada usia yang sama selama 20 menit, hasilnya menunjukkan bahwa anak yang paling aktif berbicara menghasilkan 77 kata yang berbeda-beda dan anak yang paling tidak aktif dalam berbicara menghasilkan 9 kata yang berbea-beda. Dengan kata lain anak tunarungu yang menggunakan kata-kata isyarat pada periode waktu yang sama lebih sedikit menghasilkan isyarat kata dibandingkan dengan anak yang mendengar yang paling tidak aktif berbcara sekalipun.
Temuan Harris sangat menarik karena dapat menunjukkan bukti yang jelas tentang variasi usia dalam perolehan isayarat dan kosa-kata pada anak tunaraungu. Telah kita lihat bahwa anak tunarungu menerima sedikit input baik kuantitas maupun kompleksitas dibandingkan dengan anak yang mendengar. Akan tetapi menurut Harris imput data bukan segala-galanya. Ada data lain yang dapat dijelaskan yaitu seorang ibu anak tunarungu memperkenalkan 101 isyarat yang diambil dari bahasa lisan ketika anaknya berusia 16 bulan tetpi pada usia 24 bulan, anak ini hanya dapat menghasilkan 1 isyarat. Ibu anak ini ternyata salah menerapkan strategi dalam memperkenalkan isyarat dalam mempertautkan sebuah isyarat dengan objek yang dimaksud sehingga dapat dimengerti.
Tampak jelas dari studi ini bahwa perkembangan awal bahasa isyarat pada anak-anak tunarungu sama seperti perkembangan awal bahasa lisan pada anak-anak yang mendengar. Tidak ada kesimpulan yang mantap dan meyakinkan bahwa anak tunarungu berkembang lebih awal atau lebih terlambat dibandingkan anak yang mendengar dalam hal perkembangan bahasa.

4) Perolehan Bahasa Lisan Pada Anak Tunarungu
Jumlah atau banyaknya bahasa lisan yang dapat diperoleh oleh anak tunarungu tergantung kepada banyak faktor. Sebagai contoh, seberapa banyak mereka dapar mendengar, apakah yang mereka dengar itu jelas atau tidak terdistorsi, seberapa banyak mereka menggunakan sisa pendengarannya, apakah orang dewasa di sekitar mereka berbicara kepada anak tunarungu dengan jelas.
Anak tunarungu biasanya dapat menggunakan sisa pendengaran jika sisa pendengarannya kurang dari 60 dB. Kehilangan pendengaran pada level ini memungkinkan anak tunaraungu mampu membedakan bunyi bahasa meskipun kemampuan ini mungkin didasarkan pada tanda akuistik yang berbeda. Akan tetapi orang tua anak tunarungu tidak membantu anak seperti yang seharusnya. Banyak sekali percakapan dilakukan ketika anak tunarungu tidak sedang memperhatikan kepada orang tuanya dan orang tua cenderung memberikan fakta-fakta dan jawaban daripada menanyakan pertanyaan-pertanyaan yang menghendaki jawaban yang jelas. Hal seperti ini juga dilakukan oleh guru-guru di sekolah (Wood, 1981).
Bayi tunaraungu biasanya mulai membuat vokalisasi sama seperti bayi yang mendengar tetapi muulai berbeda pada akhir tahun pertama. Dari kira-kira usia 7 bulan anak yang mendengar mulai mengoceh, menghasilkan pengulangan bunyi suku-kata konsonan-vokal seperti ”dadada”. Akan tetapi produksi vokalisasi seperti itu pada anak tunarungu berkembang terlambat (Spencer, 1993), akan tetapi baru akan muncul secara bertahap pada pada tahun-tahun berikutnya. Oller & Eiler (1988) melaporkan bahwa rentang usia anak tunarungu dalam memproduksi Syllabic babbling muncul antara usia 11-25 bulan, sementara pada anak yang mendengar terjadi pada uisia antara 6-10 bulan. Pada penelitian longitudinal pada 94 anak yang mendengar dan 37 anak tunarungu, Oller & Eiler (1994) melaporkan bahwa produksi syllabic babbling pada anak yang mendengar terjasi pada usia antara 3-10 bulan, sementra pada anak tunarungu terjadi pada usia antara 11-49 bulan.
Bagi anak taunarungu perolehan kata-kata merupana ususan yang sangat sulit. Hanya anak-anak tunarungu yang sangat cerdas akan dapat memiliki sebanyak 200 kata pada usia 4-5 tahun. Pada usia itu, anak yang mendengar akan memiliki sebanyak 2000 kata. Jelas sekali bahwa pemahaman anak tunarungu terhadap bahasa lisan sangat terbatas. Bishop (1983) melaporkan bahwa anak tunarungu yang berusia 8-12 tahun pemahaman bahasa lisannya lebih rendah dari anak yang mendengar yang berusia 4 tahun. Mereka juga mengalami kesulitan dalam memahami arti dari apa yang didengar.
Sebuah studi yang dilakukan oleh Gregory & Mogford (1981) memberikan informasi yang sangaat berguna perolehan bahasa pada anak tunarungu. Mereka melaporkan bahwa 6 dari 8 anak tunarungu mulai mengucapkan kata pada usia 16 bulan, sementara anak yang mendengar mulai mengucapkan kata pada usia 11 bulan. Tidak mengherankan bahwa semakin bertat derajat ketunarunguan yang dialami anak, maka pemunculan kata yang dapat diucapkan akan dicapai pada usia yang lebih tua. Anak tuanrungu berat berusia 4 tahun dapat mengucapkan kurang dari 10 kata. Rate atau kecepatan dalam memperoleh kata yang dapat diucapkan berbeda antara anak tunarungu dengan anak yang mendengar. Anak yang mendengar memerlukan waktu satu bulan untuk menguasai 1-10 kata, sementra anak tunarungu memerlukan waktu 7 bulan untuk jumlah kata yang sama. Bagi anak tunarungu peningkatan kecepatan dalam perolehan kata-kata adalah sekitar 10 kata per bulan, sementara pada anak yang mendengar rata-rata 50 kata perbulan.
Anak tunarungu dan anak yang mendengar mulai dapat menggabungkan kata-kata ketika sudah mencapai kosa-kata kurang lebih 50 kata pada usia 30 bulan bagi anak tunarungu, dan 18 bulan pada anak yang mendengar. Hal ini diikuti oleh kecepatan peningkatan kosa-kata pada anak yang mendengar tetapi tidak terjadi pada anak tunarungu.
Kata-kata pendek apa yang diperoleh anak tunarungu pertama kali? Gregory & Mogford melaporkan bahwa pada ukuran jumlah kosa-kata 50 dan 100 kata pada anak tunarungu dibandingkan dengan anak yang mendengar, memiliki lebih sedikit nama-nama objek dan peristiwa dan lebih banyak kata yang digunakan dalam hubungan sosial, seperti ”terima kasih” atau kata yang menyatakan afektif/perasaan seperti ”Auw”. Pada ukuran kosa kata 50 kata anak tunarungu memiliki lebih banyak kata untuk menggambarkan tindakan dan pada ukuran kosa-kata 100 kata, anak tunaarungu memiliki lebih banyak kata yang menggambarkan atribut dari objek.
Jelas sekali bahwa banyak anak tunarungu yang orang tuanya hanya menggunakan pendekatan oral, paling tidak pada tahun-tahun pertama, akan gagal untuk mengembangkan keterampilan oral. Gregory (1995) menemukan bahwa bahasa yang dilpilh oleh 82 tunarungu deewasa dimana orang tuanya hanya menggunakan bahasa linsan ketika mereka berusia 6 tahun adalah Brithis Sing Language 31 orang, Sign Support Language 13 orang, Bahasa Inggris Lisan 30 orang dan 8 orang memiliki keterampilan bahasa yang sangat terbatas. Bahasa yang dipilih berhubungan dengan kehilangan pendegaran. Sebgai contoh anak tunarungu yang mengalami kehilangan pendenngaran lebih darai 50% memililih Brithis Sign Language dan kurang dari 10% memilih bahasa Inggris Lisan. Menarik sekali, meskipun pada tahap permulaan para orang tua menggunakan bahasa oral, tetapi ketika anaknya mencapai usia para orang tua menggunakan isyarat ketika berkomunikasi dengan anak-anaknya.
Sangat jelas bahwa anak-anak tunarungu berat menghadapi kesulitan dalam memperoleh bahsa lisan. Akan tetapi, terdapat beberapa bukti bahwa keterampilan bahasa lisan anak-anak tunarungu akan menjadi baik jika sejak awak diperkenalkan juga kepada isyarat. Notoya, Suzuki & Furukawa (1994) melakukan studi terhadap 2 orang anak tunarungu Jepang yang orang tuanya mendengar (dcHP). 2 anak ini mengikuti program latihan multi sensori termasuk isyarat berdasarkan bahasa jepang lisan, latihan auditori, membaca bibir, dan bahasa tulis sejak selama 2 samapi 14 bulan. Orang tuanya juga belajar isyarat berdasarkan bahasa Jepang. Anak-anak yang berumur 18 bulan dapat menguasai 50 isyarat, dan anak-anak yang berusia 30 bulan dapat mengucapkan 50 kata yang berbeda. Akan tetapi pada usia 42 bulan mereka menguasi 550 isyarat dan kata yang berbeda sekaligus. Jadi, pada usia 3,5 tahun bahasa oral dapat dicapai bersamaan dengan bahasa isyarat.
Temuan ini membuktikan bahwa memperkenalkan isyarat yang didasarkan pada bahasa lisan sejak usia dini kepada anak tunarungu dapat memfasilitasi anak tunarungu dalam perolehan bahasa lisan. Pada usia 5 tahun kedua anak tunaraungu Jepang ini memiliki keterampilan membaca lebih maju dari pada anak yang mendengar. Temuan ini menjadi sangat menarik karena biasanya anak tunarungu sering mengalami hambatan dalam belajar membaca.

5) Keterampilan Membaca dan Menulis pada Anak Tunarungu
Banyak anak tunarungu memiliki hambatan dalam belajar membaca. Conrad (1979), menemukan bahwa hanya 5 dari 220 orang anak tanarungu berat yang berusia 15-16,5 tahun yang diteliti selama 2 tahun memililiki keterampilan membaca (reading age) sejalan dengan usianya yaitu 15 tahun, selebihnya 215 orang memiliki hambatan/kesulit-an belajar membaca. Lebih dari 50 % anak tunaraungu yang sudah tamat sekolah memiliki keterampilan membaca (reading age) di bawah 7 tahun 10 bulan. Tidak mengherankan bahwa kesulitan membaca pada anak-anak tunarungu sebagai akibat dari kehilangan pendengaran.
Banyak anak tunaraungu memperoleh pendidikan dengan menggunakan bahasa lisan. Kelly (1995) melaporkan bahwa anak tunarungu yang rata-rata berusia 18 tahun, memiliki keterampilan membaca (memahami isi bacaan) setara dengan anak uisa 10 tahun, hanya 3% dari jumlah anak tunarungu yang diteliti memiliki keterampilan membaca (memahami bacaan) setara dengan usianya. Gregory (1995) melaporkan bahwa hanya 32 % dari 82 anak tunarungu dapat membaca dan memahami isinya, 25% dari 82 orang dianggap buta huruf, karena hanya dapat membaca kata atau sama sekali tidak dapat membaca. Timbul pertanyaan mengapa membaca begitu sulit bagi anak-anak tunarungu?
Sebuah penelitian longitudinal yang dilakukan oleh Goswami & Bryant (1990) menunjukkan bahwa terdapat hubunngan yang sangat kuat antara kesadaran tentang bunyi bahasa (Phonological awareness) sebelum belajar membaca dengan kemampuan membaca lebih lanjut. Anak tunarungu memiliki kesadaran bunyi (phonological awareness) yang rendah jadi sangat logis apabila mereka memiliki kesulitan dalam belajar membaca.
Harris & Beech (1998) meneliti tentang kesadaran fonologi (Phonological awareness) anak tunarungu yang berusia 4-6 tahun dan anak mendengar usia 5 tahun. Semua anak tersebut baik yang mendengar maupun anak tunarungu baru belajar membaca permulaan. Anak-anak diperlihatkan kepada gambar objek, misalnya boneka (doll), kemudian disebutkan atau diisyaratkan oleh tester. Jika anak menyebutkan atau mengisyaratkan dengan benar, kemudian diperlihatkan dua gambar berikutnya yaitu gambar anjing (dog) dan gambar cangkir (cup). Anak ditanya gambar manakah yang mempunyai bunyi awal sama seperti bunyi pada gambar pertama? Pada contoh ini, jawaban yang benar adalah dog (anjing), karena memiliki bunyi awal yang sama dengan bunyi doll (boneka). Anak-anak tunarungu dapat menyelesaikan 60% tugas ini, sementra itu anak yang mendengar dapat menyelesaikan 81%. Perbedaan ini cukup signifikan. Kesadaran fonologi (phonological awareness) secara signifikan berkorelasi positif dengan keterampilan membaca selanjutnya, baik pada anak tunarungu maupun pada anak yang mendengar.
Hasil penelitian Harris dan Beech (1998) membuktikan bahwa keterampilan membaca pada anak harus didasari oleh keterampilan fonologis sebagai prasyarat. Artiyna sebelum anak belajar membaca (memahami sibol visual) seharusnya sudah memeiliki kesadaran fonologis terlebih dahulu. Oleh sebab itu program pembelajaran pada pendidikan pra-sekolah, termasuk bagi anak tunarungu seharusnya dilakukan aktivitas belajar yang bersifat readiness program (program penyiapan untuk belajar secara formal), bukan pembelajaran yang bersifat akademis formal seperti belajar membaca, menulis dan matematika secara langsung. Pembelajaran yang bersifat akademis secara secara formal dalam pendidikan pra-sekolah baik bagi anak mendengar maupun bagi anak tunarungu, menurut Haris & Beech dapat dipandang sebagai sebuah kesalahan dalam pendidikan.

d. Dampak Tunarungu Terhadap Perkembangan Sosial dan Emosi
Keberhasilan interaksi dengan orang lain tergantung kepada keterlibatan indidividu berbagi dalam berbagi sistem komunikasi yang digunakan. Banyak sekali bukti yang menunjukan bahwa faktor utama yang mempengaruhi keefektifan komunikasi antara anak tunarungu dengan orang tuanya adalah status pendengaran orang tua. Anak tunarungu dengan orang tua dan tunarungu lainnya yang menggunakan isyarat berkomukasi sama efektifnya dengan anak mendengar berkomunikasi dengan orang yang mendengar lainya. Sebaliknya, banyak anak tunarungu yang orang tuanya meandengar mengalami kesulitan dan tidak pernak mencapai cara yang efektif dalam berkomunikasi dengan orang yang mendengar.
Selain itu, sementara orang tua yang tunarungu melakukan penyesuain ketika mereka berkomunikasi dengan anaknya yang juga tunarungu. Orang tua anak tunarungu yang mendengar juga melakukan penyesuaian ketika berkomuniksi dengan anaknya yang tunarungu seperti yang dilakukan oleh orang tua yang tunarungu, akan tetapi ternyata tidak mendapat keuntungan. Ini berarti bahwa tidak adak kesulitan dalam interaksi sosial antara anak tunarungu dengan orang tuanya yang juga tunarungu, tetapi akan menjadi persoalan bagi anak tunarungu yang orang tuanya mendengar.

1) Dampak Tunarungu dalam Interaksi dengan Orang Lain.
Anak tunarungu cenderung akan bermain sendirian dan melakukan permainan yang tidak bdersifat fantasi dibanding dengan anak yang mendengar pada usdia yang sama (Spencer & Deyo, 1993). Hal ini disebabkan bahwa interaksi dan bermain dengan orang lain, terutama yang bersifat fantasi hanya dapat dilakukan dengan berkomunikasi secara efektif. Bayangkan, misalnya ketika anak bermain dengan membuat dahulu sebuah ceritera, berbagi ide dan membuat aturan dalam bermain. Kegiatan sepeti itu akan sangat sulit dilakukan oleh anak tunaraungun jika mereka memiliki keterampilan berkomuniaksi dan keterampilan berbahsa yang terbatas.
Lederberg (1991) telah melakukan observasi bahwa anak tunarungu pra-sekolah yang memiliki keterampilan bahasa yang baik memungkinkan untuk bermain dan berkomunikasi dengan lebih banyak orang dibandingkan dengan anak yang keterampilan berbahasanya kurang baik. Selanjutnya, Lederbeg, Ryan, & Robbins (1986) menemukan adanya korelasi yang signifikan antara kompetensi bahasa anak tunrungu usia 4-7 tahun dengan beberapa pengukuran tentang interaksi mereka dengan tunarungu lainnya, termasuk jumlah waktu dalam berinteraksi, jumlah giliran, dan prekuensi episode bermain fantasi. Hal yang mengherankan dari penelitian Lederberg dkk bahwa tidak ditemukan korelasi antara sifat interaksai (nature of interaction) dengan bahasa yang digunakan selama interaksi berlangsung. Lederberg dkk menjelaskan bahwa yang penting seberapa banyak bahasa digunakan selama interaksi dilakukan, tetapi tergantung kepada pemahaman anak yang menyeluruh dan keterlibatan dalam berinteraksi.
Mavin & Kasal (1996) menemukan bahwa anak tunarungu pra-sekolah usia 4-6 tahun di sebuah taman kanak-kanak, berkomunikasi dengan teman sebayanya hanya tentang apa yang terjadi saat itu, membiarakan tentang pbjek dari pada tentang orang, sedikit sekali pembicaraan tentang pengalaman yang sudah dilalui dan peristiwa yang bersifat imajinasi. Akan tetapi status pendengaran anak tunarungu, dengan siapa mereka bermain mungkin akan berpengaruh dalam berinteraksi.
Selanutnya Levine & Antia (1997) mengobservasi anak tunarungu berusia 3-6 tahun selama 2-24 setiap minggu dan ditemukan bahwa anak tunarungu usia 3-5 tahun lebih memungkinkan bermain bersama, sementra anak tunarungu usia 5-6 tahun bebrapa dari mereka bermain bersama dengan anak yang mendengar. Hal yang paling menarik adalah cara bermain yang dilakukan berbeda tergantung kepada status pendengaran dari kelompok. Ketika anak tunarungu bermain bersama, permainan terutama bersifat manipulatif dan konstruksitf, sedangkan dua atau lebih anak tunarungu bermain dengan anak yang mendengar, mereka bermain terutama bersifat konstrukstif dan dramatik. Levina & Antia menjelaskan bahwa temuan ini menunujukan bahwa anak tunarungu membutuhkan anak tunaraungu lainya untuk berkomunikasi, tetapi juga membutuhkan anak yang mendengar untuk memulai dan menjadi model bermain yang lebih canggih.
Di dalam situasi di mana ada anak tunarungu dan ada anak yang mendengar, meskipun berbeda dalam status pendengaran, mereka berinteraksi satu sama lain dalam sebagian waktu. Anak tunarungu berinteraksi dengan anak tunaraungu dan anak yang mendengar berinteraksi dengan anak yang mendengar (Minnett, Clark, & Wilsons, 1994). Hal ini disebabkan komunikasi dengan orang lain dalam status pendengaran yang sama lebih mudah dari pada dengan orang lain yang berbeda satus pendengarannya, dan karena anak yang mendengar lebih memilih berkomunikasi dengan orang yang dapat berkonukasi (konukasi akan lebih mudah). Anak yang bisa mendengar dipilih sebagai teman bermain.
Rodriguez & lana (1996) menemukan bahwa status pendengarn dan saling kenal merupakan sifat dari interkasi anak tunaraungu bersuasi 2-5 tahun dengan anak tunarungu lainnya dan anak yang mendengar. Interaksi pada kelompok yang berjumlah tiga orang atau lebih giliran jauh lebih sering terjadi ketika dua orang tunaraungu yang saling mengenal berinteraksi, selanjtnya lebih sering terjadi ketika tunarungu yang saling tidak mengenal berinteraksi, kemudian antara tunarungu dan yang mendengar berinterkasi. Sangat jarang terjadi interasksi antara anak tunarungu dengan anak yang mendengar yang tidak familiar. Gaines & Halpern-Feisher (1995) mencatat bahwa anak kembar berusia 1-3 tahun satu diantara mereka tunarungu, jarang berinteraksi satu sama lain, meskipun keduanya berinteraksi dengan orang dewasa.
Semakin efektif komunikasi anak tunarungu, semaikin mirip interaksi seperti anak yang mendengar (Preisler, 1983, Preisler & Ahlsrom, 1997). Preisler, 1983 mengobservasi anak tunarungu berusia 3-7 tahun yang bersekolah di TK biasa. Semua anak di sekolah ini memililiki orang tua yang mendengar. 5 orang anak tunarungu mulai belajar bahasa isyarat pada usia 1-3 tahun, dan 10 orang mulai belajar pada usia 3-6 tahun. Anak yang belajar bahasa isyarat lebih dini memiliki strategi komunikasi yang lebih efektif dan memiliki pemahaman yang lebih baik tentang kaidah yang mendasari komunikasi dengan orang lain daripada anak tunarungu yang belajar lebih kemudian. Tunaraungu yang menggunakan isyarat sejak awal lebih antentif terhadap teman bermainnya dan memperoleh perhatian sebelum berinteraksi.
Jika anak tunarungu dapat berisyarat dengan anak tunaraungu lainnya, interaksi mereka akan sangat mirip seperti apad anak yang mendengar. Tetapi anak tunaraungu yang orang tuanya mendengar (dcHP) tidak akan memiliki akses kepada anak tunaraungu lainya. Apa yang akan terjadi apabila seorang anak tunarungu tidak memilki akses kepada tunarungu lainnya? Shaw & Jamieson (1995) mengobservasi anak tunarungu laki-laki usia 8 tahun di sekolah biasa. Anak ini berinterkasi pada saat belajaar dengan temannya yang meandengar hanya 25% dari seluruh waktu yang dimiliki. Interaksi yang terjadi antara anak tunarungu ini dengan temannya yang mendengar sering sangat singkat, terpotong-potong dan sering tidak saling mengerti.
Jelas sekali bahwa tunarungu akan menjasi sangat terisolasi dan mempengaruhi interkasi dengan anak-anak lainnya yang mendengar, terutama apabila tidak ada kesempatan untuk bergabung dengan anak tunarungu lainya.

2) Anak Tunarungu dalam Memahami Dirinya Sendiri
Anak tunarungu yang lahir dari orang tuanya yang tunarungu (dcDP) yang mengunakan bahasa isyarat sebagai cara untuk berkomunikasi, memungkinkan mereka tumbuh dan berkembang menjadi anggota masyarakat tunarungu, mampu berkomunikasi di antara mereka dengan pandangan positif tentang diri mereka sendiri sebagai masyarakat tunarungu. Sebaliknya, anak tunarungu yang orang tuanya mendengar (dcHP) sering kali tidak dapat melakukan komunikasi yang efektif, mereka sering merasa bahwa mereka bukan anggota masyarakat yang mendengar dan bukan pula angota masyarakat tunarungu. Oleh karena itu tampaknya bahwa status pendengaran orang tua dari anak tunarungu mempunyai peranan yang sangat penting dalam hal anak tunaraungu melakukan penyesuaian terhadap kerusakan pendengaran yang mereka alami. Akan tetapi Orang tua anak tunarungu yang mendengar (dcHP) sangat bervariasi dalam melakukan komunikasi dengan anaknya yang tunarungu dan memiliki sikap yang bervariasi pula terhadap tunarungu. Faktor-faktor ini mungkin sangat penting dan menentukan seberapa bagus anak tunarungu dapat melakukan penyesuaian terhadap kerusakan pendengaran yang mereka alami.
Gregory (1995) melakukan wawancara kepada sejumlah tunarungu dimana orang tuanya hanya menggunakan pendekatan oral dalam berkomunikasi ketika anak tunarungu masih anak-anak. Di dalam wawancara itu ditanyakan kepada mereka yang tunaraungu tentang bagaimana mereka memandang diri mereka: sebagai orang yang senang/gembira atau sedih; sebagai orang yang sangat percaya diri atau kurang percaya diri; apakah menyuaki diri sendiri, apakah bangga terhadap diri sendiri; apakah dapat memaafkan diri sendiri, dan apakah mereka ingin berubah. Dari 61 tunarungu yang diwawancarai, 31% menjawab semua pertanyaan secara positif. Akan tetapi, 69% menjawab pertanyaan secara negatif. Data hasil wawancara ini mencerminkan bahwa kebanyakan orang tunarungu memiliki perasaan negatif terhadap drinya. Data ini juga dapat dijadikan prevalensi tentang kemungkinan banyaknya tuanrungu akan mengalami gangguan psikiatri pada masa dewasa.
Hindley, Hill, McGuigan & Kitson (1994) menemukan bahwa remaja yang mengalami tunarungu berusia 11-16 tahun di London memiliki kecenderungan yang tinggi mengalami masalah psikiatri, terutama mengenai kecemasan dan phobia. Sebanyak 81 orang anak tunarungu di diwawancara dengan menggunakan angket yang dikembangkan khusus untuk mengidentifikasi ada atau tidaknya masalah masalah psikiatari pada anak tunarungu. Hasilnya menunjukkan bahwa 50% dari jumlah itu memiliki kemungkinan yang sangat tinggi untuk mempunyai masalah psikiatri, dibandingkan dengan anak-anak yang bukan tunarungu yang hanya memiliki 25% kemungkinan untuk mengalami gangguan psikiatri. Sementara itu anak-anak tunarungu yang bersekolah di sekolah khusus untuk tuanrungu yang menggunakan pendekatan oral memiliki kemungkinan lebih besar (61%) untuk mengalami masalah psikiaatri, sedangkan anak-anakm tunarungu yang bersekolah di sekolah khusus yang menggunakan bahasa isyarat medan pendekatan oral secara bersamaan miliki kemungkinan 42% mengalami maslah psikiatri.
Dari data hasil penelitian tersebut dapat diketahui bahwa ketidak efektifan dalam berkomunikasi pada anak-anak tunarungu dapat menimbulkan pandangan negatif terhadap dirinya sendiri dan kemungkinan untuk mengalami masalah psikiatri prevalensinya cukup tinggi.
Data hasil penelitian membuktikan bahwa penggunaan bahasa isyarat oleh tunarungu dapat menigkatkan keefektifan anak tunarungu dalam berkomunikasi dan dapat mereduksi kemungkinan timbulnya maslah psikiatri. Vostanis, Hayes & Du Feu (1997) mengobservasi anak tunarungu berusaia antra 2-11 tahun yang besekolah di Taman Kanak-Kanak khusu bagi tunarungu. Semua guru di sekolah ini menggunakan pendekatan dua bahasa yaitu bahasa isyatar (British Sign Language) dan bahas Ingris. Hasil observasi menunjukkan bahwa hanya 30% dari anak tunarungu memiliki kemungkinan mengalai masalah psikiatri. Dari data ini dapat ditafsirkan bahwa penggunaan dua bahasa (oral dan isyarat) bagi tunarungu memberikan kesempatan kepada anak untuk berkomunkasi lebih mudah.
Kita telah melihat bahwa kemampuan anak tunarungu untuk berkomunikasi dengan orang lain dengan mudah dan efektif, mempengaruhi perkembangannya, dalam hal ini perkembangan interaksi dan penysesuaian diri.


















D Pustaka Rujukan


Arnold,P.,& Murray (1998). Memory and faces and objects by deaf and hearing signers and hearing nonsigners. Journal of Psycholinguistic Research.

Bebko, J.M., Bell. M. A.Metcalfe-Haggert, A, & McKinnon, E (1998) Language pro- ficiency ang the prediction of spontaneous reherasal in children who are deaf, Journal of Experimental Child Psychology

Baddeley, A (1986). Working Memory, Oxford University Press

Bishop, D.V.M. (1983) Cognotive neorospychology and developmental disorders: Uncomfortable bedffelows. Quarterly Journal of Experimental Psychology, 50,899-923

Cambell, R. & Wright, H. (1990). Deafness and immediate memory for pictures: Dissociations between ”inner speeck” and the ”inner ear” ? Journal of Experimental Child Psychology, 50,259-286

Chomsky,N. (1975), Reflection on Language. New York: Pantheon Books

Cole,M., & Seribner, S.( 1974). Culture and Thought . New York: Wiley

Conrad, R.(1979) The Deaf School Child: Language and Cognitive Function. London: Harper and Row

Emmorey,K,. Kosslyn, S.M, & Bellugi, U.(1993) Visual imagery and visual-spatial language: Enhanced imagery abilities in deaf and hearing ASL signers. Cognition, 46,139-181

Furth, H.G. (1973) Deafness and Learning: A Psychlogical Approach. Belmont California: Wadsworth.

Gaines,R., & Halpern-Felsher,B.L. (1995). Language preference and communacation development of a hearing and deaf twin pair. American Annals of the Deaf, 140, 47-55

Gregory,S,.Smith, S.,& Well,A. (1997). Language identity in sign bilingual deaf children. Deafness and Education, 21, 31-38

Goldin-Meadow,S., McNeil,D., & Singleton. (1996) Silence is liberating: Removing the handcuffs on grammatical expression in the manual modality. Psychological review.

Harris,M., & Molay, H (1997) Laerning to look in the right place: A comparison of attentional behavior in deaf children with deaf and hearing mothers. Journal of Deaf Studies and Deaf Education,2, 95-103

Ittyerah , M.., Sharma, R. (1997) The Performance of hearing-impaired children on handedness and perceptual motor tasks. Genetic, Social, and General Psychology Monographs, 123,285-302

Kelly, L.P. (1995) Processing of bottom-up and top-down information by skilled and average deaf readers and implications for whole language instruction. Exceptional Children, 61, 318-334

Lewis,C., & Mitchell, P.(1994). Children’s Early Understanding of Mind: Origins and Development, Hillsdale, New Jersey: Erlbaum.

Levine,L.M., & Antia,S.D (1997), The effect of partner hearing status on social and cognitive play, Journal of Early Intervention, 21,21-35

Lederberg,A.R.,Ryan, H.B., & Robbinson (1986). Peer interaction in young deaf children: The effect of parner hearing status and familiarity, Development- al Psychology

Madelbaum,D.G.(1958), Selected Writing of Edward Sapir in Language, Culture and Personality. Berkeley and Los Engeles: university of California Press.

Meadow-Orlans,K.P., & Spencer,P.E. (1996). Maternal Sensitivity and the visual attentiveeness of cgildren who are deaf. Early Develepment and Parenting

Meirer,R.P., & Willerman,R, (1995), Prelinguistic gesture in deaf and hearing infants. In K. Emmorey & J. S. Reilly, Language, Gesture, and Space. Hove, Sussex: Erlbaum

Martinez,M,. & Silvestre,N. (1995), Self-concept in proufundly deaf adolescent ppupils. International Journal of Psychology, 30,305-316

Marvin, C., & Kasal,K.R. (1996). A simantic analysis of signed communication in an activity-based classroom for preschool children who are deaf. Language, Speech, and Hearing Services in School, 27,57-67

Notoya,M., Suzuki,S., & Furukawa, m. (1994). Effect of eraly manual instruction on the oral-language develeopment of two deaf children. American Annals of Deaf, 19,348-351

Petitto, L.A,. & Merentette, P. F. (1991). Babbling in the manual mode: Evidence for the ontogeny of language. Science.

Piaget,J. (1967). Biologie et Connaissance. Paris: Gallimard.

Preisler, G. M. (1995) The development of communacation in blind and deaf infants: Similarities and differences. Chil: Car, Haelth and Development

Petterson, C.C,. & Siegal, M. (1995). Deafness, conversation and theory of mind. Journal of Child Psychology and Psychiatry, 36,459-474

Rodriguez, M,S. & Lana, E.T. (1996). Dyadic interaction between deaf children and their communication parners. American Annal of the Deaf, 141,245-251

Savelsbergh, G.J.P., Netelenbos, J.B., & Whiting, H. T.A. (1991). Auditory perception and the control of spatially coordinated action of deaf and hearing children. Journal of Child Psychology and Psychiatry, 32, 489-500

Sapir, E. (1912). Language and environment. Amercan Antropologist, n.s., 226-242

Schlesingr, H., & Meadow, K. (1972). Sound and Sign: Childhood Deafness and Mental Health. Berkeley: University of California Press

Spencer, P.E., Bordner-Johnson, B. A., & Gutfreund, M.k. (1992). Interacting with infants with a hearing loss: What can we learn from mathers who are deaf ? Journal of Erarly Intervention, 16,64-78

Show,J., & Jamieson, J. (1995). Interaction of an integrated deaf child with his hearing partners: A Vygotskian perspective. ACEHI, 21, 4-29

Vygotsky, L.S. (1962) Thougt and Language. Cambridge, Massachusetts: MIT Press

Vostanis, P., M., Du Fue, M., & Warren, J. (1997). Detection of behavioroural and emotional problems in deaf childrent snd adolescent: Comparison of two rating scale, Child : Care, Health and Development

Wood, D. (1981) Some developmental aspects of prelengual deafness. In B. Woll, J. G. Kele, & M. Deuchar, Perspectives on BS and Deafness. London Croom Helm.
Label: anak berkebutuhan khusus
diposkan oleh Zaenal Alimin pada 04:38